حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ، حَدَّثَنَا يُونُسُ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ زَوَّجَ مَعْقِلٌ أُخْتَهُ فَطَلَّقَهَا تَطْلِيقَةً‏.‏
Terjemahan
Diriwayatkan Nafi'

Ibnu 'Umar bin Al-Khattab menceraikan istrinya selama haid. Rasulullah (ﷺ) memerintahkannya untuk membawanya kembali sampai dia menjadi bersih, dan ketika dia mengalami menstruasi lagi saat dia bersamanya, dia harus menunggu sampai dia menjadi bersih lagi dan hanya kemudian, jika dia ingin menceraikannya, dia dapat melakukannya sebelum melakukan hubungan seksual dengannya. Dan itulah periode yang ditetapkan Allah untuk menceraikan wanita. Setiap kali Abdullah (bin 'Umar) ditanya tentang hal itu, dia akan berkata kepada penanya, "Jika kamu menceraikannya tiga kali, dia tidak lagi sah bagimu kecuali dia menikahi pria lain (dan pria lain menceraikannya pada gilirannya).' Ibnu 'Umar lebih lanjut berkata, 'Apakah kamu (rakyat) hanya memberikan satu atau dua perceraian, karena Nabi (ﷺ) telah memerintahkan saya demikian."

Comment

Larangan Bercerai Selama Haid

Riwayat ini dari Sahih al-Bukhari 5332 menetapkan hukum Islam mendasar bahwa perceraian tidak boleh diucapkan selama periode haid wanita. Tindakan Ibn Umar, meskipun tulus, dikoreksi oleh Nabi Muhammad (ﷺ), menunjukkan bahwa ini adalah larangan yang ditetapkan secara ilahi, bukan sekadar rekomendasi.

Hikmah di balik hukum ini sangat dalam. Haid adalah keadaan di mana hubungan seksual dilarang, dan perceraian selama waktu ini bisa didorong oleh kemarahan atau frustasi impulsif daripada pertimbangan yang matang. Dengan mewajibkan suami menunggu hingga suci, Islam memastikan keputusan dibuat dengan tenang setelah kesempatan untuk rekonsiliasi selama periode bersih.

Periode Iddah yang Ditetapkan untuk Perceraian

Nabi (ﷺ) memerintahkan Ibn Umar untuk mengambil kembali istrinya dan menunggu hingga dia menyelesaikan satu siklus haid penuh dan menjadi suci. Hanya setelah itu, jika dia masih ingin bercerai, dia bisa melakukannya sebelum melakukan hubungan seksual. Kerangka waktu spesifik ini—selama suci tanpa konsumsi—disebut "at-talaq as-sunni" (perceraian Sunnah).

Prosedur ini berfungsi sebagai periode pendinginan wajib. Ini memberikan suami waktu untuk merenung dan berpotensi mencabut keputusannya, dan memastikan rahim wanita bebas dari kehamilan, menetapkan garis keturunan yang jelas untuk setiap anak potensial. Ini adalah "periode yang Allah tetapkan untuk wanita yang diceraikan," menekankan asal ilahinya dan hikmah dalam melestarikan struktur keluarga.

Finalitas Perceraian Tiga Kali

Peringatan Ibn Umar berikutnya—"Jika kamu menceraikannya tiga kali, dia tidak lagi halal bagimu"—menyoroti konsekuensi hukum yang kritis. Mengucapkan tiga perceraian, baik dalam satu duduk atau tersebar selama tiga periode suci, membuat perceraian tidak dapat dibatalkan. Pasangan tidak bisa begitu saja berdamai; wanita harus menikah dengan pria lain dalam pernikahan yang sah dan dikonsumsi yang kemudian berakhir melalui perceraian atau kematian suami.

Hukum ini bertindak sebagai pencegah yang keras terhadap penggunaan perceraian yang sembrono. Keluhan Ibn Umar, "Seandainya kamu hanya memberikan satu atau dua perceraian," mencerminkan bimbingan Nabi untuk menyimpan perceraian tiga kali, memperlakukan pengucapan pertama dan kedua sebagai dapat dibatalkan, sehingga membuka pintu untuk rekonsiliasi dan melestarikan ikatan pernikahan kapan pun memungkinkan.