Ibnu 'Umar menceraikan istrinya saat dia sedang menstruasi. 'Umar bertanya kepada Nabi (ﷺ) yang berkata, "Perintahkan dia (anakmu) untuk membawanya kembali, dan kemudian menceraikannya sebelum masa Iddah berlalu." Saya bertanya kepada Ibnu 'Umar, "Apakah perceraian itu (selama haid) akan dihitung?" Dia menjawab, "Jika seseorang berperilaku bodoh (akankah kebodohannya menjadi alasan untuk perilaku buruknya)?"
Sahih al-Bukhari 5333: Komentar tentang Perceraian Selama Menstruasi
Riwayat ini dari Ibn Umar (semoga Allah meridhainya) menetapkan prinsip dasar dalam hukum perceraian Islam. Nabi (ﷺ) memerintahkan pencabutan perceraian yang diucapkan selama menstruasi karena waktu seperti itu melanggar etiket Islam yang ditetapkan untuk perceraian.
Analisis Hukum tentang Larangan
Para ulama sepakat bahwa menceraikan seorang wanita selama masa haidnya adalah haram dan merupakan bid'ah yang bertentangan dengan Sunnah. Hikmah di balik larangan ini adalah untuk memastikan perceraian terjadi dalam keadaan suci ketika hubungan suami istri berpotensi mendamaikan pasangan.
Para ahli hukum mengklasifikasikan ini sebagai "perceraian yang tercela" (talaq al-bid'ah) yang harus segera dicabut. Suami tetap berkewajiban untuk mengambil kembali istrinya dan menunggu sampai dia suci dari menstruasi sebelum mempertimbangkan perceraian.
Tanggapan Ibn Umar: Signifikansi Teologis
Ketika ditanya apakah perceraian yang tidak pantas ini dihitung, tanggapan retoris Ibn Umar "Jika seseorang bertindak bodoh..." menunjukkan bahwa tindakan berdosa tidak membatalkan konsekuensi hukum. Ini mencerminkan prinsip bahwa keputusan agama berlaku terlepas dari niat pelaku untuk tidak taat.
Ulama klasik menjelaskan bahwa meskipun tindakan itu berdosa, perceraian secara teknis terjadi dan dicatat. Namun, perintah Nabi untuk mencabutnya berfungsi sebagai koreksi kesalahan dan cara untuk menghindari finalitas hitungan perceraian.
Implikasi Yuridis Praktis
Mayoritas ulama berpendapat bahwa perceraian seperti itu dihitung menuju talaq tiga jika suami bermaksud demikian. Mazhab Malik menganggapnya tidak sah dan tidak dihitung. Semua mazhab sepakat bahwa suami harus segera mencabutnya dan menunggu waktu yang tepat.
Hadis ini menetapkan bahwa perceraian seharusnya hanya terjadi selama tuhr (masa suci) ketika tidak ada hubungan intim yang terjadi, memungkinkan kemungkinan rekonsiliasi selama masa tunggu dan menjaga martabat proses pernikahan.