Nabi (صلى الله عليه وسلم) pergi ke arah Al-Baqi (kuburan di Madinah) pada hari Id-ul-Adha dan berdoa dua rakat (Id-ul-Adha) dan kemudian menghadap kami dan berkata, "Pada hari kami, ibadah pertama kami adalah mempersembahkan shalat dan kemudian kami akan kembali dan menyembelih kurban, dan siapa pun yang melakukan ini sesuai dengan Sunnah kami; dan barangsiapa menyembelih korbannya sebelum itu (yaitu sebelum shalat) maka itu adalah sesuatu yang dia persiapkan sebelumnya untuk keluarganya dan itu tidak akan dianggap sebagai Nusuk (korban.)" Seorang pria berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah (صلى الله عليه وسلم)! Aku menyembelih (hewan sebelum shalat) tetapi aku memiliki seekor kambing betina muda yang lebih baik daripada domba yang lebih tua." Nabi (p.b.u.h) berkata kepadanya, "Sembelihlah. Tetapi pengorbanan yang serupa tidak akan cukup bagi orang lain setelah Anda."
Dua Festival (Eid) - Sahih al-Bukhari 976
Hadis ini dari Sahih al-Bukhari mengandung hikmah mendalam mengenai pelaksanaan yang tepat dari Eid al-Adha. Bimbingan Nabi menetapkan urutan ibadah yang benar: pertama shalat Eid, kemudian kurban.
Urutan Ibadah
Nabi menekankan bahwa shalat Eid mendahului kurban, menetapkan ini sebagai sunnah. Urutan ini mencerminkan hierarki spiritual di mana shalat berjamaah lebih diutamakan daripada tindakan ibadah individu.
Siapa pun yang membalikkan urutan ini pada dasarnya telah menyiapkan daging biasa untuk keluarganya daripada melakukan kurban ritual yang sah (nusuk). Kurban menjadi tindakan ibadah hanya ketika dilakukan setelah shalat Eid.
Pengecualian dan Hikmahnya
Situasi sahabat menunjukkan fleksibilitas yurisprudensi Islam. Meskipun dia melakukan kesalahan dengan berkurban sebelum shalat, kepemilikannya atas hewan yang lebih unggul memungkinkan tindakan korektif.
Izin Nabi baginya untuk berkurban lagi adalah dispensasi khusus (rukhas) yang tidak menetapkan aturan umum, seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan terakhirnya bahwa pengecualian ini tidak akan berlaku untuk orang lain.
Implikasi Hukum dan Spiritual
Hadis ini mengajarkan bahwa kesesuaian lahiriah dengan contoh Nabi sangat penting untuk keabsahan ibadah. Waktu kurban mengubahnya dari sekadar penyembelihan menjadi tindakan pengabdian.
Insiden ini juga menggambarkan prinsip bahwa ketika tindakan ibadah yang lebih unggul mungkin dilakukan setelah kesalahan, itu harus dikejar, sambil mengakui bahwa koreksi semacam itu adalah konsesi individu daripada keputusan umum.