Seorang pria datang kepada Rasulullah (ﷺ) dan berkata, “Aku hancur.” Nabi (ﷺ) bertanya, “Apa maksudmu?” Dia berkata, “Saya melakukan hubungan seksual dengan istri saya selama Ramadhan (saat berpuasa).” Nabi (ﷺ) bertanya kepadanya, “Dapatkah Anda membebaskan seorang budak?” Dia menjawab dengan negatif. Dia kemudian bertanya kepadanya, “Bisakah kamu berpuasa selama dua bulan berturut-turut terus menerus?” Dia menjawab dengan negatif. Nabi (ﷺ) kemudian bertanya kepadanya, “Bisakah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?” Dia menjawab dengan negatif. Sementara itu seorang Ansari datang dengan keranjang penuh kurma. Nabi (ﷺ) berkata kepada orang itu, “Ambillah dan berikanlah (sebagai penebusan dosamu).” Pria itu berkata, “Haruskah aku memberikannya kepada beberapa orang yang lebih miskin dari kita wahai Rasulullah (ﷺ)? Demi Dia yang mengutus kamu dengan kebenaran, tidak ada keluarga di antara dua gunung Madinah yang lebih miskin dari kami. Rasulullah (ﷺ) menyuruhnya untuk mengambilnya dan memberikannya kepada keluarganya.”
Konteks dan Latar Belakang
Hadis ini dari Sahih al-Bukhari 2600 membahas masalah serius mematahkan puasa Ramadan melalui hubungan seksual yang disengaja, yang memerlukan penebusan (kaffārah). Kesedihan pria itu menunjukkan kesadaran yang tepat akan beratnya dosa.
Hierarki Penebusan
Nabi menyajikan tiga pilihan dalam urutan menurun: membebaskan budak yang beriman, berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh orang miskin. Hierarki ini mempertimbangkan kemampuan orang beriman sambil mempertahankan beratnya penebusan.
Rahmat Ilahi dan Kebijaksanaan Praktis
Ketika pria itu tidak mampu membayar penebusan apa pun, Utusan Allah menerima pernyataan jujurnya tentang kemiskinan dan mengizinkannya menggunakan kurma untuk keluarganya. Ini menunjukkan keseimbangan Islam antara menegakkan hukum ilahi dan menunjukkan belas kasihan kepada kesulitan yang sebenarnya.
Pelajaran Hukum dan Spiritual
Insiden ini menetapkan bahwa hubungan seksual yang disengaja selama hari-hari puasa Ramadan memerlukan kaffārah. Ini juga mengajarkan bahwa ketulusan dalam pertobatan dan kejujuran dalam menyatakan kondisi seseorang dapat mengarah pada kelegaan ilahi melalui kebijaksanaan Nabi.