حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، حَدَّثَنَا عُقَيْلٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏"‏ احْتَجَّ آدَمُ وَمُوسَى، فَقَالَ مُوسَى أَنْتَ آدَمُ الَّذِي أَخْرَجْتَ ذُرِّيَّتَكَ مِنَ الْجَنَّةِ‏.‏ قَالَ آدَمُ أَنْتَ مُوسَى الَّذِي اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِرِسَالاَتِهِ وَكَلاَمِهِ، ثُمَّ تَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدْ قُدِّرَ عَلَىَّ قَبْلَ أَنْ أُخْلَقَ‏.‏ فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى ‏"‏‏.‏
Terjemahan
Narasi Abu Huraira

Nabi (ﷺ) berkata, “Adam dan Musa saling berdebat dan Musa berkata, 'Engkau adalah Adam yang mengeluarkan keturunanmu dari surga. ' Adam berkata: “Engkau adalah Musa yang dipilih Allah untuk memberitahukan ayat-Nya dan untuk pembicaraan langsungnya, padahal kamu menyalahkan aku atas perkara yang telah ditetapkan bagiku sebelum aku diciptakan?” Demikianlah Adam mengalahkan Musa.”

Comment

Keesaan, Keunikan Allah (Tauhid)

Sahih al-Bukhari - Hadis 7515

Signifikansi Teologis

Dialog mendalam antara dua nabi besar ini menetapkan prinsip ketetapan ilahi (al-Qadr) sebagai dasar Tauhid. Tanggapan Adam menunjukkan bahwa tindakan manusia terjadi dalam pengetahuan dan kehendak Allah yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga menjaga kemahakuasaan ilahi sambil mempertahankan tanggung jawab manusia.

Musa mewakili perspektif hukum dan keadilan ilahi, sementara Adam mewujudkan kenyataan takdir ilahi. Perdebatan mereka menggambarkan bagaimana kedua konsep ini hidup berdampingan dalam teologi Islam tanpa kontradiksi.

Komentar Ilmiah

Imam al-Qurtubi menjelaskan bahwa kemenangan Adam dalam perdebatan ini berasal dari pengakuannya bahwa keluarnya dari Surga telah ditetapkan oleh Allah sebelum penciptaan. Ini menegaskan bahwa semua peristiwa terjadi sesuai dengan pengetahuan dan kehendak Allah yang abadi.

Ibn Hajar al-Asqalani mencatat bahwa posisi Musa mencerminkan perannya sebagai pemberi hukum, menekankan akuntabilitas manusia, sementara tanggapan Adam melengkapi gambaran teologis dengan mengakui penentuan ilahi sebelumnya.

Para ulama menekankan bahwa hadis ini mengajarkan umat Islam untuk memahami baik ketetapan ilahi maupun tanggung jawab manusia sebagai aspek iman yang saling melengkapi, tidak saling meniadakan.

Implikasi Praktis

Narasi ini mengajarkan kerendahan hati dalam penilaian, karena bahkan nabi mungkin memiliki perspektif yang terbatas. Ini mendorong umat beriman untuk mempertimbangkan kebijaksanaan ilahi dalam semua keadaan dan menghindari menyalahkan dengan tergesa-gesa.

Dialog ini menunjukkan etika yang tepat dalam wacana agama - hormat namun tegas dalam menyajikan bukti, pada akhirnya mencari kebenaran daripada kemenangan.