Nabi (صلى الله عليه وسلم) bertemu dengan saya di salah satu jalan Madinah dan pada saat itu saya adalah Junub. Jadi saya menyelinap menjauh darinya dan pergi mandi. Sekembalinya saya Nabi (صلى الله عليه وسلم) bersabda, "Wahai Abu Huraira! Kemana kamu berada?" Saya menjawab, "Saya adalah Junub, jadi saya tidak suka duduk di perusahaan Anda." Nabi (صلى الله عليه وسلم) bersabda, "Subhan Allah! Seorang percaya tidak pernah menjadi najis."
Teks & Konteks Hadis
Diriwayatkan Abu Huraira: Nabi (ﷺ) bertemu denganku di salah satu jalan di Madinah dan saat itu aku dalam keadaan Junub. Jadi aku menghindar darinya dan pergi mandi. Setelah kembali, Nabi (ﷺ) berkata, "Wahai Abu Huraira! Ke mana engkau pergi?" Aku menjawab, "Aku dalam keadaan Junub, jadi aku tidak suka duduk bersamamu." Nabi (ﷺ) berkata, "Subhan Allah! Seorang mukmin tidak pernah menjadi najis." (Sahih al-Bukhari 283)
Komentar Ilmiah
Hadis ini menunjukkan karakter mulia Abu Huraira yang sangat hati-hati dalam menghindari perusahaan Nabi saat dalam keadaan najis besar (janabah). Tindakannya mencerminkan etika Islam yang tepat, meskipun respons Nabi memberikan klarifikasi teologis yang penting.
Seruan Nabi "Subhan Allah!" mengungkapkan keheranan atas kesalahpahaman Abu Huraira. Pernyataan "Seorang mukmin tidak pernah menjadi najis" tidak meniadakan kenyataan najis ritual yang memerlukan ghusl, tetapi menegaskan kemurnian spiritual esensial dari hati dan iman seorang mukmin. Seorang Muslim tetap murni pada hakikatnya meskipun dalam keadaan ritual sementara.
Para ulama menjelaskan bahwa ini berarti sifat dasar mukmin tetap murni, dan najis ritual adalah keadaan hukum sementara yang memerlukan pemurnian - bukan korupsi spiritual bawaan. Iman mukmin melindungi mereka dari pencemaran spiritual yang sebenarnya.
Implikasi Hukum
Hadis ini menegaskan bahwa meskipun ghusl tetap wajib setelah janabah, interaksi sosial santai dengan yang suci diperbolehkan sebelum mandi. Seseorang boleh berbicara, berjalan di jalan, dan melakukan urusan yang diperlukan, meskipun shalat dan pembacaan Al-Quran tetap dilarang sampai pemurnian.
Keputusan ini berbeda dari tradisi Yahudi di mana mereka yang memiliki najis besar diisolasi sepenuhnya. Islam mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan kebutuhan kehidupan praktis, menekankan kemurnian lahir dan kebersihan spiritual batin.