حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، قَالَ حَدَّثَنَا الْمُفَضَّلُ بْنُ فَضَالَةَ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ، ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا، فَإِنْ زَاغَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ‏.‏
Terjemahan
Diriwayatkan Anas bin Malik

Setiap kali Nabi (صلى الله عليه وسلم) memulai perjalanan sebelum tengah hari, dia biasa menunda shalat Zuhur sampai waktu shalat 'Ashar dan kemudian dia akan turun dari kuda dan mempersembahkannya bersama-sama; dan setiap kali matahari terbenam sebelum dia memulai perjalanan, dia biasa memanjatkan shalat Zuhr dan kemudian berkendara (untuk perjalanan).

Comment

Memendekkan Sholat (At-Taqseer) - Sahih al-Bukhari 1112

Riwayat ini dari Nabi Muhammad (ﷺ) yang tercinta menetapkan preseden hukum untuk menggabungkan sholat selama perjalanan. Hikmah di balik keringanan ilahi (rukhṣah) ini menunjukkan rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya, meringankan kesulitan perjalanan sambil mempertahankan kewajiban sholat.

Waktu dan Syarat untuk Penggabungan Sholat

Ketika Nabi memulai perjalanannya sebelum tengah hari (zawāl), beliau akan menunda Dhuhr hingga waktu ʿAṣr, kemudian menggabungkannya sebagai jamʿ taʾkhīr (penggabungan tertunda). Ini menunjukkan bahwa musafir memiliki pilihan untuk menggabungkan baik pada waktu sholat pertama (jamʿ taqdīm) atau sholat kedua (jamʿ taʾkhīr).

Ketika matahari telah condong (berarti waktu Dhuhr telah dimulai) sebelum keberangkatan, beliau akan sholat Dhuhr terlebih dahulu kemudian bepergian. Ini menunjukkan pentingnya sholat pada waktu yang tepat ketika keadaan memungkinkan, dan hanya menggunakan keringanan ketika diperlukan.

Interpretasi Ulama

Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa hadis ini membuktikan kebolehan menggabungkan Dhuhr dan ʿAṣr selama perjalanan, baik seseorang sedang bergerak atau diam selama penggabungan. Hikmahnya adalah untuk meringankan umat dari kesulitan.

Ibn Qudāmah al-Maqdisī menyatakan bahwa mayoritas ulama memperbolehkan menggabungkan sholat saat bepergian berdasarkan ini dan riwayat otentik serupa. Jarak minimum yang memenuhi syarat sebagai perjalanan untuk keringanan ini adalah sekitar 48 mil (80 km) menurut kebanyakan madzhab.

Aplikasi Praktis

Musafir dapat menggabungkan Dhuhr dengan ʿAṣr dan Maghrib dengan ʿIshāʾ, baik dengan memajukan sholat kedua atau menunda sholat pertama. Keringanan ini berlaku sepanjang perjalanan hingga musafir kembali ke rumah atau berniat tinggal di suatu tempat selama lebih dari empat hari.

Rahmat ilahi ini memungkinkan musafir Muslim untuk mempertahankan kewajiban sholat mereka tanpa kesulitan berlebihan, mencerminkan sifat seimbang hukum Islam yang mempertimbangkan kewajiban spiritual dan keadaan praktis.