Ketika Rasulullah (ﷺ) tiba di Madinah, dia berdoa menghadap Yerusalem selama enam belas atau tujuh belas bulan tetapi dia berharap bahwa dia akan diperintahkan untuk menghadapi Ka'bah. Maka Allah turunkan: “Sesungguhnya! Sesungguhnya Kami telah melihat peralihan wajahmu ke langit, sesungguhnya Kami akan mengarahkan kamu ke arah kiblat yang menyenangkan kamu.” (2:144) Demikianlah ia diarahkan kepada Ka'bah. Seorang pria berdoa 'Asr bersama Nabi (ﷺ) dan kemudian keluar, dan melewati beberapa orang dari Ansar, dia berkata, “Saya bersaksi. bahwa saya telah shalat bersama Nabi (ﷺ) dan dia (Nabi) telah shalat menghadap Ka'bah.” Maka mereka yang bersujud dalam shalat Asr berbalik ke arah Ka'bah.
Kebijaksanaan di Balik Perubahan Kiblat
Transisi dari Yerusalem ke Ka'ba sebagai kiblat menunjukkan kebijaksanaan ilahi dalam legislasi bertahap. Awalnya berdoa ke arah Yerusalem mempertahankan kesinambungan dengan wahyu sebelumnya sambil membedakan Muslim dalam waktu dan cara berdoa. Periode enam belas bulan ini berfungsi sebagai persiapan spiritual sebelum penetapan kiblat akhir.
Kerinduan Kenabian dan Tanggapan Ilahi
Keinginan batin Nabi untuk arah Ka'ba mencerminkan keterikatannya yang alami pada rumah primordial yang dibangun oleh Abraham dan Ismael. Tanggapan Allah dalam Surah Al-Baqarah (2:144) menggambarkan bagaimana keputusan ilahi mengakomodasi disposisi kenabian sambil menetapkan legislasi abadi.
Frasa "Kami akan mengarahkanmu ke arah doa yang akan menyenangkanmu" menunjukkan kebaikan ilahi dalam menyelaraskan kewajiban agama dengan kecenderungan hati Nabi, menunjukkan harmoni antara perintah ilahi dan sifat manusia.
Implementasi Wahyu yang Segera
Pengumuman segera sahabat setelah shalat Ashar bersama Nabi menunjukkan implementasi wahyu Al-Qur'an yang cepat. Penyesuaian segera Ansar di tengah shalat mengungkapkan ketundukan mutlak mereka pada perintah ilahi dan kepercayaan mereka pada pemberi informasi yang jujur.
Insiden ini menetapkan prinsip hukum Islam tentang menerima informasi dari satu penyampai yang jujur (khabar al-wāhid), karena komunitas mengubah arah shalat mereka hanya berdasarkan kesaksian satu sahabat.
Implikasi Hukum dan Teologis
Para ulama menyimpulkan dari narasi ini bahwa laporan satu narator yang dapat diandalkan harus diterima dalam masalah hukum dan keyakinan. Tindakan Ansar menunjukkan bahwa kesaksian orang yang jujur merupakan bukti definitif yang memerlukan kepatuhan segera.
Insiden ini juga menunjukkan kebolehan mengubah kiblat selama shalat ketika informasi otentik sampai kepada penyembah, menetapkan yurisprudensi penting mengenai validitas dan koreksi shalat.