حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ، قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، عَلَى غَيْرِ مَا حَدَّثَنَاهُ الزُّهْرِيُّ، قَالَ سَمِعْتُ قَيْسَ بْنَ أَبِي حَازِمٍ، قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ، قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ‏"‏ لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ، فَهْوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا ‏"‏‏.‏
Terjemahan
Diriwayatkan 'Abdullah bin Mas'ud

Nabi (صلى الله عليه وسلم) bersabda, "Jangan ingin menjadi seperti siapa pun kecuali dalam dua kasus. (Yang pertama adalah) Seseorang, yang telah Allah berikan kekayaan dan dia membelanjakannya dengan benar; (yang kedua adalah) orang yang telah Allah berikan hikmah (Al-Qur'an) dan dia bertindak sesuai dengannya dan mengajarkannya kepada orang lain." (Fath-al-Bari halaman 177 Vol. 1)

Comment

Sahih al-Bukhari 73: Komentar tentang Keunggulan Dua Jenis Orang

Hadis mulia ini dari Nabi Muhammad (ﷺ) menetapkan dua bentuk iri (al-ghibtah) yang sah dalam Islam, yaitu menginginkan berkah yang dimiliki orang lain tanpa berharap itu diambil dari mereka.

Kasus Pertama: Pemberi yang Saleh

Individu pertama diberkati oleh Allah dengan kekayaan materi (al-māl) dan menggunakannya dalam pengeluaran yang benar (fi haqqihi). Ini mencakup memenuhi kewajiban seperti zakat, menafkahi keluarga, dan sedekah sukarela (sadaqah) yang mendekatkan seseorang kepada Allah.

Para ulama menjelaskan bahwa keutamaan terletak bukan pada sekadar memiliki kekayaan, tetapi pada penerapannya yang benar menurut Hukum Ilahi. Kekayaan menjadi sarana ketaatan, sumber pahala berkelanjutan (ajr), dan bukti syukur (shukr) atas karunia Allah.

Kasus Kedua: Pemilik Kebijaksanaan

Kasus kedua, dan lebih unggul, adalah orang yang diberikan kebijaksanaan (al-hikmah), yang oleh para komentator didefinisikan di sini sebagai Al-Qur'an Suci dan Sunnah yang otentik. Berkah ini lebih unggul daripada kekayaan, karena ilmu ('ilm) membimbing seseorang kepada Allah dan bermanfaat bagi orang lain.

Keutamaan ini bergantung pada tiga tindakan: bertindak berdasarkan ilmu ini sendiri ('amal), mengajarkannya kepada orang lain (ta'līm), dan melakukannya dengan ketulusan (ikhlās). Kombinasi ini mengubah ilmu dari sekadar pencarian intelektual menjadi cahaya penuntun yang hidup bagi individu dan komunitas.

Keputusan Spiritual dan Hukum

Hadis ini melarang keinginan untuk menjadi seperti orang lain dalam atribut duniawi seperti kecantikan, status, atau kekuasaan, karena ini dapat menyebabkan ketidakpuasan dengan ketetapan Allah (qadar). Ini mengarahkan aspirasi orang beriman menuju keunggulan spiritual dan abadi.

Ini menetapkan keutamaan besar dalam mencari ilmu yang bermanfaat dan berbelanja dengan benar. Ini juga secara halus menunjukkan hierarki keutamaan, menempatkan ulama yang bertindak berdasarkan dan mengajarkan ilmunya di atas filantropis kaya, meskipun keduanya adalah jalan terpuji menuju Surga.