Ketika saya pergi bersama Nabi (صلى الله عليه وسلم) melalui reruntuhan Madinah dan dia sedang berbaring di tangkai daun kurma, beberapa orang Yahudi lewat. Beberapa dari mereka berkata kepada yang lain: Tanyakan kepadanya (Nabi) tentang roh. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa mereka tidak boleh menanyakan pertanyaan itu kepadanya karena dia mungkin memberikan jawaban yang tidak menyenangkan mereka. Tetapi beberapa dari mereka bersikeras untuk bertanya, maka salah satu dari mereka berdiri dan bertanya, "Wahai Abul-Qasim! Apa rohnya?" Nabi (صلى الله عليه وسلم) tetap diam. Saya pikir dia diilhami secara Ilahi. Jadi saya tinggal sampai keadaan Nabi (saat diilhami) berakhir. Nabi (صلى الله عليه وسلم) kemudian bersabda, "Dan mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang roh itu -- Katakanlah: Roh itu -- pengetahuannya ada pada Tuhanku. Dan pengetahuan kamu (umat manusia) hanya diberikan sedikit)." (17.85)
Konteks dan Kesempatan Wahyu
Narasi ini dari Sahih al-Bukhari 125 menggambarkan keadaan seputar wahyu Quran 17:85. Nabi Muhammad (ﷺ) sedang berjalan melalui Madinah ketika para ulama Yahudi mengujinya dengan pertanyaan teologis mendalam tentang hakikat jiwa (ruh).
Para ulama Yahudi terbagi - beberapa memperingatkan untuk tidak bertanya, khawatir Nabi mungkin memberikan jawaban yang akan menantang pemahaman mereka, sementara yang lain bersikeras mengajukan pertanyaan untuk menguji kenabiannya.
Tanggapan Ilahi dan Perilaku Kenabian
Diamnya Nabi menunjukkan bahwa dia menunggu wahyu ilahi daripada memberikan pendapat pribadi. Ini menunjukkan prinsip Islam mendasar bahwa urusan realitas gaib (ghayb) memerlukan bimbingan ilahi.
Pengakuan sahabat bahwa Nabi sedang menerima wahyu menunjukkan tanda-tanda wahyu (ilham ilahi) yang dapat diamati oleh para Sahabat.
Tafsir Quran 17:85
"Ruh itu dari perintah Tuhanku" - Para ulama klasik menjelaskan bahwa ruh (jiwa) termasuk dalam kategori perintah Allah (amr), artinya ia berasal dari dunia gaib yang hanya Allah pahami sepenuhnya.
"Kamu hanya diberi pengetahuan sedikit" - Ini menekankan keterbatasan manusia dalam memahami realitas ilahi. Ibn Kathir berkomentar bahwa ayat ini menetapkan batas-batas yang tepat dari penyelidikan manusia dan mengakui pengetahuan Allah yang tak terbatas versus pemahaman kita yang terbatas.
Refleksi Ulama
Imam al-Qurtubi mencatat bahwa insiden ini mengajarkan Muslim etika pengetahuan - untuk mengakui batas pemahaman manusia dan merujuk pengetahuan tertinggi kepada Allah.
Ibn Hajar al-Asqalani menekankan dalam Fath al-Bari bahwa hadis ini menetapkan prinsip bahwa tidak semua pengetahuan dapat diakses oleh manusia, dan beberapa hal tetap secara eksklusif dengan pengetahuan Allah.
Tanggapan ini mengalihkan penanya dari spekulasi filosofis ke pengakuan kedaulatan ilahi dan keterbatasan manusia, menetapkan batas-batas teologis yang tepat.