وَقَالَ مُوسَى بْنُ مَسْعُودٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ ـ رضى الله عنهما ـ قَالَ صَالَحَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْمُشْرِكِينَ يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ عَلَى ثَلاَثَةِ أَشْيَاءَ عَلَى أَنَّ مَنْ أَتَاهُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ رَدَّهُ إِلَيْهِمْ، وَمَنْ أَتَاهُمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ لَمْ يَرُدُّوهُ، وَعَلَى أَنْ يَدْخُلَهَا مِنْ قَابِلٍ وَيُقِيمَ بِهَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، وَلاَ يَدْخُلَهَا إِلاَّ بِجُلُبَّانِ السِّلاَحِ السَّيْفِ وَالْقَوْسِ وَنَحْوِهِ‏.‏ فَجَاءَ أَبُو جَنْدَلٍ يَحْجُلُ فِي قُيُودِهِ فَرَدَّهُ إِلَيْهِمْ‏.‏ قَالَ لَمْ يَذْكُرْ مُؤَمَّلٌ عَنْ سُفْيَانَ أَبَا جَنْدَلٍ وَقَالَ إِلاَّ بِجُلُبِّ السِّلاَحِ‏.‏
Terjemahan
Diriwayatkan Al-Bara' bin 'Azib (ra)

Pada hari Hudaibiya, Nabi (ﷺ), Nabi (ﷺ) membuat perjanjian damai dengan Al-Mushrikun dengan tiga syarat:1. Nabi (ﷺ) akan mengembalikan kepada mereka siapa pun dari Al-Mushrikun (musyrik, penyembah berhala, penyembah berhala) .2. Para penyembah berhala Al-Mushrikun tidak akan mengembalikan seorang Muslim yang pergi kepada mereka, dan 3. Nabi (ﷺ) dan teman-temannya akan datang ke Mekah pada tahun berikutnya dan akan tinggal di sana selama tiga hari dan akan masuk dengan senjata mereka dalam kasus-kasus, misalnya, pedang, panah, busur, dll. Abu Jandal datang melompat, kakinya dirantai, tetapi Nabi (ﷺ) mengembalikannya ke Al-Mushrikun.

Comment

Latar Belakang Kontekstual

Perjanjian Hudaybiyyah terjadi pada tahun keenam setelah Hijrah ketika Nabi (ﷺ) dan sekitar 1.400 sahabat melakukan perjalanan untuk melaksanakan Umrah. Kaum Quraisy mencegah masuknya mereka, yang mengarah pada negosiasi yang menghasilkan perjanjian perdamaian yang penting ini.

Komentar Ilmiah tentang Kondisi Perjanjian

Kondisi Pertama: Kesulitan yang tampak dari mengembalikan Muslim ke Quraisy sebenarnya adalah hikmah ilahi. Ini menunjukkan kesucian perjanjian dalam Islam dan menetapkan prinsip bahwa perjanjian harus dipatuhi bahkan ketika tampaknya merugikan.

Kondisi Kedua: Kesepakatan Quraisy untuk tidak mengembalikan Muslim menunjukkan pengakuan mereka terhadap kedaulatan Islam. Kondisi ini melindungi komunitas Muslim sambil memungkinkan dakwah yang damai.

Kondisi Ketiga: Izin untuk memasuki Mekah pada tahun berikutnya menetapkan hak Muslim untuk melaksanakan haji, menegaskan signifikansi spiritual Ka'bah sambil mempertahankan hubungan damai.

Kasus Abu Jandal

Pengembalian Abu Jandal, meskipun sulit secara emosional, menunjukkan komitmen mutlak terhadap kewajiban perjanjian dalam Islam. Para ulama mencatat bahwa ini menetapkan preseden bahwa kesulitan individu tidak membatalkan perjanjian kolektif yang dibuat untuk kepentingan yang lebih besar dari komunitas Muslim.

Hikmah Ilahi dan Hasil

Perjanjian ini, yang awalnya tampak sebagai kemunduran, terbukti sebagai kemenangan yang menentukan. Ini memungkinkan Islam menyebar dengan damai, memperkuat posisi Muslim, dan akhirnya mengarah pada penaklukan Mekah secara damai. Allah menurunkan Surah Al-Fath yang mengonfirmasi ini sebagai "kemenangan yang nyata."

Prinsip Hukum dan Etika

Yurisprudensi Islam mengambil dari insiden ini kebolehan perjanjian perdamaian sementara dengan non-Muslim, kewajiban untuk memenuhi perjanjian, dan prinsip bahwa kerugian duniawi yang tampak mungkin menyembunyikan kemenangan spiritual dan manfaat jangka panjang.