Saya bertanya kepada 'Aisyah, "Bagaimana shalat Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) selama bulan Ramadhan." Dia berkata, "Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) tidak pernah melebihi sebelas rakat pada bulan Ramadhan atau di bulan-bulan lainnya; Dia biasa mempersembahkan empat rakat—jangan bertanya kepadaku tentang keindahan dan panjangnya, lalu empat rakat, jangan bertanya kepadaku tentang keindahan dan panjangnya, dan kemudian tiga rakat." Aisyah lebih lanjut berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah (صلى الله عليه وسلم)! Apakah Anda tidur sebelum berdoa witr?' Dia menjawab, 'Wahai 'Aisha! Mataku tidur tapi hatiku tetap terjaga'!"
Shalat Malam (Tahajjud)
Sahih al-Bukhari 1147
Keunggulan Shalat Malam
Riwayat ini dari Ibu Orang-Orang Beriman, 'Aisyah (semoga Allah meridainya), menetapkan pola sunnah shalat malam Nabi. Praktik konsisten sebelas rakaat menunjukkan moderasi dalam ibadah, menghindari kelalaian dan ekstremisme.
Nabi (ﷺ) mempertahankan jumlah ini sepanjang tahun, menunjukkan bahwa intensitas spiritual Ramadan tidak mengharuskan peningkatan kuantitas shalat, melainkan meningkatkan kualitas dan pengabdiannya.
Struktur Tahajjud
Shalat ditawarkan dalam tiga set: empat rakaat, lalu empat rakaat, lalu tiga rakaat. Para ulama berbeda pendapat apakah ini dilakukan dengan salam tunggal setelah setiap dua rakaat atau dengan urutan yang lebih panjang. Penekanan pada "keindahan dan panjang" menunjukkan pengabdian sempurna dan pemenuhan pilar shalat yang tepat.
Tiga rakaat terakhir membentuk shalat witr, yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi (ﷺ), bahkan saat bepergian. Ini menunjukkan pentingnya yang utama dalam ibadah malam.
Keadaan Kesadaran Kenabian
Pernyataan mendalam "Mataku tidur tetapi hatiku tetap terjaga" mengungkapkan keadaan spiritual unik Nabi. Sementara tubuhnya beristirahat, hatinya mempertahankan zikir dan hubungan konstan dengan Allah. Ini mencontohkan tingkat ihsan tertinggi (keunggulan dalam ibadah) di mana seseorang beribadah seolah-olah melihat Allah.
Keadaan ini memungkinkannya bangun untuk tahajjud pada waktu yang optimal sambil mempertahankan kewaspadaan spiritual. Ini mengajarkan kita bahwa ibadah sejati melampaui keadaan fisik dan berasal dari hati yang terus-menerus terikat pada Penciptanya.