Seorang pria datang kepada Nabi (ﷺ) dan berkata, “Saya telah hancur karena saya telah melakukan hubungan seksual dengan istri saya di bulan Ramadhan (saat saya berpuasa)” Nabi (ﷺ) berkata (kepadanya), “Manumit seorang budak.” Pria itu berkata, “Saya tidak mampu membelinya.” Rasulullah SAW bersabda, “Berpuasa selama dua bulan berturut-turut”. ﷺ Pria itu berkata, “Saya tidak bisa melakukan itu.” Nabi (ﷺ) berkata, “Maka beri makan enam puluh orang miskin.” Orang itu berkata, “Aku tidak punya apa-apa (untuk memberi makan mereka).” Kemudian sebuah keranjang besar penuh dengan kurma dibawa kepada Nabi. Nabi (ﷺ) berkata, “Di manakah penanya? Pergilah dan berikan ini sebagai sedekah.” Orang itu berkata, “Haruskah aku memberikan sedekah kepada orang yang lebih miskin dariku? Demi Allah, tidak ada keluarga di antara dua gunung (Madinah) yang lebih miskin dari kita.” Nabi (ﷺ) kemudian tersenyum sampai gigi premolar terlihat, dan berkata, “Kemudian beri makan (keluargamu) dengan itu.
Komentar Hadis: Kafarat untuk Hubungan Seksual Selama Ramadan
Narasi ini dari Sahih al-Bukhari 6087 dalam Kitab Adab dan Bentuk (Al-Adab) menyajikan pelajaran mendalam tentang rahmat ilahi, yurisprudensi praktis, dan kepemimpinan penuh kasih Nabi.
Keputusan Hukum (Hukm)
Hubungan seksual selama jam puasa di Ramadan membatalkan puasa dan memerlukan kafarat. Nabi menetapkan kafarat yang sama seperti untuk melanggar sumpah: membebaskan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh orang miskin - dalam urutan prioritas menurun.
Pendekatan bertahap ini menunjukkan pertimbangan Islam terhadap keadaan manusia, menawarkan alternatif ketika opsi utama tidak dapat dilakukan.
Rahmat Ilahi dalam Legislasi
Pengurangan persyaratan secara berurutan - dari membebaskan budak hingga memberi makan enam puluh orang miskin - mengungkapkan rahmat Allah. Ketika pria itu tidak mampu membayar kafarat apa pun, Nabi sendiri menyediakan sarannya, menunjukkan bahwa Allah tidak membebani jiwa di luar kemampuannya.
Senyuman Nabi dan Keputusan Akhir
Senyuman Nabi saat mendengar deklarasi kemiskinan yang tulus dari pria itu mencerminkan pemahamannya tentang sifat manusia. Instruksi akhirnya untuk memberi makan keluarganya sendiri mengubah kafarat menjadi penyediaan, menunjukkan bahwa rahmat Allah mencakup semua keadaan.
Insiden ini mengajarkan bahwa ketulusan dan kejujuran dapat menjadi sarana bantuan ilahi, dan bahwa hukum Islam selalu mempertimbangkan kemampuan dan keadaan manusia.