حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رضى الله عنه ـ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏"‏ لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ ‏"‏‏.‏
Terjemahan
Narasi Abu Huraira

Rasulullah SAW bersabda, “Yang kuat bukanlah orang yang mengalahkan manusia dengan kekuatannya, tetapi yang kuat adalah orang yang mengendalikan dirinya saat dalam kemarahan.” ﷺ

Comment

Tata Krama dan Bentuk (Al-Adab)

Sahih al-Bukhari - Hadith 6114

Analisis Teks

Nabi (ﷺ) mendefinisikan kekuatan sejati bukan sebagai kekuatan fisik atas orang lain, tetapi sebagai penguasaan diri selama agitasi emosional. Istilah Arab "al-qawiyy" (yang kuat) didefinisikan ulang dari pemahaman konvensional menjadi keunggulan spiritual.

Komentar Ilmiah

Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa hadis ini mengangkat kekuatan moral di atas kekuatan fisik. Juara sejati bukanlah dia yang mengalahkan orang lain dalam pertempuran, tetapi dia yang menaklukkan nafs-nya (diri rendah) sendiri ketika kemarahan memprovokasinya untuk berbuat salah.

Ibn Hajar al-Asqalani mencatat bahwa mengendalikan kemarahan membutuhkan keberanian yang lebih besar daripada konfrontasi fisik, karena itu berarti menolak impuls langsung seseorang demi kepuasan ilahi.

Aplikasi Praktis

Ketika kemarahan muncul, orang beriman harus mengingat pahala Allah untuk pengendalian diri, mencari perlindungan dari Setan, mengubah posisi fisik (duduk jika berdiri, berbaring jika duduk), melakukan wudhu, atau tetap diam daripada berbicara dalam kemarahan.

Ajaran ini mengubah resolusi konflik dari dominasi menjadi regulasi diri, membuat perdamaian mungkin bahkan dalam keadaan yang memprovokasi.