حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، عَنْ يُونُسَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ ‏"‏ مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ، وَلاَ يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي ‏"‏‏.‏ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ إِذَا رَآهُ فِي صُورَتِهِ‏.‏
Terjemahan
Diriwayatkan Abu Huraira

Aku mendengar Nabi (ﷺ) berkata, "Siapa pun yang melihatku dalam mimpi akan melihatku dalam keadaan terjaga, dan Setan tidak dapat meniru bentukku." Abu 'Abdullah berkata, "Ibnu Seereen berkata, 'Hanya jika dia melihat Nabi (ﷺ) dalam bentuknya (asli).'"

Comment

Interpretasi Mimpi - Sahih al-Bukhari 6993

Riwayat ini dari Nabi Muhammad (ﷺ) menetapkan prinsip spiritual yang mendalam mengenai penglihatan Rasul dalam mimpi. Pernyataan "Siapa yang melihatku dalam mimpi akan melihatku dalam keadaan sadarnya" menandakan bahwa penglihatan seperti itu bukan sekadar mimpi biasa tetapi membawa janji untuk menyaksikan wajah mulia Nabi di akhirat atau melalui realisasi spiritual.

Komentar Ilmiah

Klariifikasi "Setan tidak dapat meniruku dalam bentuk" memberikan perlindungan teologis yang penting, menegaskan bahwa Shaytan tidak mampu mengambil bentuk dan karakteristik sempurna Nabi Muhammad (ﷺ). Ini berfungsi sebagai kriteria untuk membedakan penglihatan kenabian sejati dari mimpi yang menipu.

Keterangan tambahan dari Ibn Seereen, yang dicatat oleh Imam al-Bukhari, menekankan kondisi bahwa pemimpi harus melihat Nabi (ﷺ) dalam deskripsi asli dan otentiknya yang diketahui, sebagaimana ditransmisikan melalui riwayat yang dapat diandalkan. Kualifikasi ini mencegah kesalahpahaman dan memastikan keaslian penglihatan sesuai dengan penampakan Nabi yang sebenarnya.

Implikasi Hukum dan Spiritual

Ulama klasik menafsirkan hadis ini sebagai indikasi status khusus bagi mereka yang diberikan penglihatan seperti itu, menunjukkan bahwa mereka mungkin termasuk di antara orang-orang beriman yang saleh yang ditakdirkan untuk mendapatkan syafaat Nabi. Janji untuk melihatnya dalam keadaan sadar dipahami sebagai realisasi spiritual di dunia ini dan penglihatan harfiah di akhirat.

Riwayat ini juga berfungsi sebagai bukti dasar dalam literatur interpretasi mimpi Islam, menetapkan kriteria spesifik untuk memverifikasi penglihatan otentik Nabi (ﷺ) dan melindungi komunitas dari klaim palsu atau tipuan setan.