عَن أبي أَيُّوب قَالَ: كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُرِّبَ طَعَامٌ فَلَمْ أَرَ طَعَامًا كَانَ أَعْظَمَ بَرَكَةً مِنْهُ أَوَّلَ مَا أَكَلْنَا وَلَا أَقَلَّ بَرَكَةً فِي آخِرِهِ قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ هَذَا؟ قَالَ: «إِنَّا ذَكَرْنَا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ حِينَ أَكَلْنَا ثُمَّ قَعَدَ مَنْ أَكَلَ وَلَمْ يُسَمِّ اللَّهَ فَأَكَلَ مَعَهُ الشَّيْطَانُ» . رَوَاهُ فِي شرح السّنة
Terjemahan

Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi dibawa hidangan yang berisi tharid* dan berkata, “Makanlah dari sisi dan bukan dari tengah, karena berkat turun di tengahnya.” *Roti hancur dan dicampur dengan sup yang mungkin memiliki potongan daging di dalamnya. Tirmidhi, Ibnu Majah dan Darimi mengirimkannya, Tirmidhi mengatakan ini adalah tradisi hasan sahih. Dalam versi Abu Dawud dia berkata, “Ketika salah satu dari kalian makan, dia tidak boleh makan dari atas piring, tetapi dari bawah, karena berkat turun dari atasnya.”