حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَابْنُ، بَشَّارٍ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ، يُحَدِّثُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏"‏ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ - أَوْ قَالَ لِجَارِهِ - مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ‏"‏ ‏.‏
Terjemahan
Ini diriwayatkan atas otoritas Anas b. Malik bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

"Tidak ada di antara kamu yang percaya (sesungguhnya) sampai dia mengasihi saudaranya" – atau dia berkata "untuk sesamanya" – "apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri."

Comment

Kitab Iman - Sahih Muslim 45a

"Tidak ada di antara kamu yang beriman (sebenarnya) sampai dia mencintai untuk saudaranya" - atau dia berkata "untuk tetangganya" - "apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri."

Komentar tentang Hadis

Hadis yang mulia ini menetapkan prinsip dasar etika Islam dan persaudaraan. Nabi Muhammad (semoga damai besertanya) menjadikan kesempurnaan iman bergantung pada aturan emas perilaku ini.

Variasi antara "saudara" dan "tetangga" menunjukkan sifat komprehensif dari ajaran ini, mencakup baik persaudaraan agama dalam Islam maupun hubungan manusia universal.

Iman sejati (iman) bukan hanya masalah deklarasi verbal atau pelaksanaan ritual, tetapi harus terwujud dalam karakter dan perlakuan terhadap orang lain. Hati orang beriman harus bebas dari iri hati, kebencian, dan keegoisan.

Interpretasi Ulama

Ulama klasik menjelaskan bahwa hadis ini menetapkan standar untuk iman yang lengkap. Frasa "tidak ada di antara kamu yang beriman" menunjukkan bahwa iman tetap tidak lengkap tanpa kualitas cinta tanpa pamrih untuk orang lain ini.

Imam An-Nawawi berkomentar bahwa ini mencakup semua urusan agama dan kehidupan duniawi - apa pun kebaikan yang diinginkan seseorang untuk dirinya sendiri, dia harus menginginkannya untuk Muslim lainnya.

Ibn Rajab al-Hanbali menjelaskan bahwa prinsip ini termasuk mengharapkan untuk orang lain apa yang diharapkan untuk dirinya sendiri dalam hal bimbingan, pengetahuan, perbuatan baik, dan semua bentuk kebaikan.

Implikasi Praktis

Ajaran ini mengharuskan Muslim untuk melampaui keinginan egois dan menumbuhkan kepedulian sejati terhadap kesejahteraan orang lain. Ini melarang iri hati ketika orang lain menerima berkah dan mendorong berbagi dalam suka dan duka.

Penerapannya meluas ke harta benda material, berkah spiritual, status sosial, dan semua aspek kehidupan di mana seseorang mungkin secara alami cenderung pada keegoisan.

Hadis ini berfungsi sebagai ukuran praktis untuk introspeksi diri: jika seseorang menemukan kebencian dalam hatinya ketika orang lain menerima berkah yang mereka sendiri inginkan, iman mereka memerlukan pemurnian dan penguatan.