''Abdullah bin 'Umar datang mengunjungi Ibnu 'Amir ketika dia sakit dan dia berkata: 'Tidakkah engkau akan memohon kepada Allah untukku, wahai Ibnu 'Umar?' Dia berkata: 'Aku mendengar Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) berkata: "Tidak ada Salat yang diterima tanpa Wudu' (penyucian), dan tidak ada amal yang diterima yang berasal dari Ghulul [1]" dan kamu adalah gubernur Al-Basrah. "[1] Barang-barang yang dicuri dari rampasan perang sebelum distribusi resminya.
Kitab Penyucian - Sahih Muslim 224a
Riwayat ini dari Abdullah bin Umar mengandung hikmah yang mendalam mengenai dua pilar dasar praktik Islam: keabsahan shalat dan penerimaan sedekah.
Penyucian sebagai Prasyarat untuk Shalat
Nabi (ﷺ) menyatakan bahwa tidak ada shalat yang diterima tanpa penyucian (wudu), menetapkan kesucian ritual sebagai syarat penting untuk keabsahan shalat. Ini menekankan bahwa kebersihan fisik mencerminkan kesucian spiritual di hadapan Kehadiran Ilahi.
Para ulama menjelaskan bahwa wudu berfungsi baik sebagai penyucian lahir dari kotoran fisik maupun persiapan batin hati untuk berkomunikasi dengan Allah. Penolakan shalat tanpa wudu menunjukkan hubungan yang tak terpisahkan antara tindakan ibadah eksternal dan kondisi yang ditetapkan.
Larangan Ghulul
Ghulul mengacu pada penyalahgunaan rampasan perang sebelum distribusi yang sah. Nabi (ﷺ) menyamakan tindakan seperti itu dengan sedekah yang tidak sah, menunjukkan bahwa kekayaan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Penyebutan khusus Ibnu Umar tentang kepemimpinan Ibnu Amir di Basrah berfungsi sebagai teguran halus, menyarankan bahwa penyakitnya mungkin terkait dengan pelanggaran administratif. Komentator klasik mencatat bahwa ini menunjukkan bagaimana para ulama agama dengan lembut membimbing penguasa menuju akuntabilitas tanpa konfrontasi langsung.
Keterkaitan Ibadah dan Etika
Hadis ini dengan indah menghubungkan ibadah ritual dengan perilaku etis. Sama seperti shalat memerlukan kesucian fisik, sedekah memerlukan kesucian finansial. Kedua tindakan ibadah menuntut persiapan yang tepat dan cara yang sah.
Sifat komprehensif ajaran Islam memastikan bahwa tindakan spiritual tetap terhubung dengan integritas moral, mencegah pemisahan agama dari perilaku sehari-hari dan tanggung jawab sosial.