حَدَّثَنِي عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ الْعَلاَءِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ، عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ، قَالَ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ وَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَانَا أَنْ نَأْكُلَ مِنْ لُحُومِ نُسُكِنَا بَعْدَ ثَلاَثٍ ‏.‏
Terjemahan
Abu Ubaid melaporkan

Saya bersama 'Ali b. Abi Thalib pada kesempatan hari 'Id. Dia memulai dengan shalat 'Id sebelum menyampaikan khotbah, dan berkata: Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) melarang kami memakan daging hewan kurban kami lebih dari tiga hari.

Comment

Kitab Korban - Sahih Muslim

Referensi Hadis: Sahih Muslim 1969 a

Konteks Narasi

Tradisi ini dinarasikan oleh 'Ali ibn Abi Talib (semoga Allah meridainya) selama perayaan Id, di mana ia menekankan praktik kenabian untuk melaksanakan shalat Id sebelum menyampaikan khutbah.

Komentar Ilmiah

Larangan mengonsumsi daging kurban melebihi tiga hari awalnya ditetapkan untuk membedakan Muslim dari praktik pra-Islam di mana daging diawetkan untuk jangka waktu yang lama. Keputusan ini mendorong kedermawanan, berbagi komunitas, dan mencegah penimbunan berkah.

Belakangan, ilmu keislaman mencatat bahwa pembatasan ini spesifik untuk periode waktu itu dan dihapus oleh izin berikutnya untuk makan dari kurban untuk durasi yang lebih lama, seperti yang disebutkan dalam narasi otentik lainnya. Ini menunjukkan sifat evolusioner legislasi Islam yang merespons kebutuhan komunitas yang berubah.

Implikasi Hukum

Ulama klasik menafsirkan hadis ini dalam konteks yang lebih luas dari semua teks yang relevan, menyimpulkan bahwa meskipun batas tiga hari awalnya wajib, belakangan menjadi disarankan (mustahabb) daripada wajib, memungkinkan fleksibilitas sambil mempertahankan semangat amal dan kesejahteraan komunitas.