Ibnu 'Umar melaporkan bahwa Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) melarang daging hewan kurban dimakan lebih dari tiga (hari) kata Salim (putra Ibnu Umar)
Ibnu 'Umar tidak memakan daging hewan kurban lebih dari tiga (hari). Ibnu Abu 'Umar berkata: "Lebih dari tiga hari."
Kitab Kurban - Sahih Muslim 1970 c
Riwayat ini dari sahabat terhormat Abdullah bin 'Umar (semoga Allah meridainya) menyampaikan larangan yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad (semoga damai besertanya) mengenai konsumsi daging kurban melebihi periode tiga hari. Rantai transmisi ini sahih dan dapat diandalkan, seperti yang didokumentasikan dalam Sahih Muslim.
Larangan Utama & Konteksnya
Keputusan awal, seperti yang ditransmisikan oleh Ibn 'Umar, adalah larangan yang jelas terhadap penyimpanan dan konsumsi daging dari hewan yang dikurbankan selama Idul Adha setelah tiga hari berlalu. Ini adalah praktik yang mapan selama tahun-tahun awal di Madinah.
Keputusan ini awalnya ditetapkan pada masa kesulitan dan kelangkaan, untuk memastikan distribusi daging yang lebih luas di antara orang miskin dan membutuhkan, mencegah penimbunan oleh mereka yang lebih kaya.
Kepatuhan Ilmiah & Pencabutan Selanjutnya
Pernyataan dari Salim, putra Ibn 'Umar, mengonfirmasi bahwa ayahnya secara ketat mematuhi larangan awal ini sepanjang hidupnya, mencerminkan kehati-hatian para sahabat dalam mengikuti tradisi kenabian yang telah mereka pelajari.
Sangat penting bagi penuntut ilmu untuk memahami bahwa batasan waktu khusus ini kemudian dicabut (mansukh) oleh hadis sahih lainnya di mana Nabi (semoga damai besertanya) berkata, "Aku telah melarangmu menyimpan daging kurban melebihi tiga hari agar ada banyak untuk semua orang. Tetapi sekarang Allah telah memberikan kelimpahan, jadi makanlah, simpanlah, dan bersedekahlah." Oleh karena itu, keputusan saat ini adalah kebolehan.
Kebijaksanaan Hukum & Penerapan
Kebijaksanaan di balik larangan awal mengajarkan kita pentingnya amal dan tanggung jawab sosial, terutama selama masa perayaan komunal. Ini mencegah individu yang lebih kaya memonopoli berkah dari kurban.
Pencabutan selanjutnya menunjukkan prinsip mendasar dalam yurisprudensi Islam: bahwa keputusan ilahi dapat berubah dengan perubahan keadaan untuk kemudahan dan manfaat umat, sementara tujuan mendasar dari amal dan syukur tetap konstan.