Kami menandatangani pernikahan sementara, memberikan segenggam (dongeng atau tepung sebagai mas kawin selama masa hidup Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) dan bertahan pada masa Abu Bakar sampai 'Umar melarangnya dalam kasus 'Amr b. Huraith.
Kitab Pernikahan - Sahih Muslim 1405 d
Narasi ini dari Jabir ibn Abdullah membahas praktik pernikahan sementara (mut'ah) selama periode awal Islam, menyebutkan kebolehannya selama masa Nabi dan kekhalifahan Abu Bakar, serta pelarangannya kemudian selama kekhalifahan Umar.
Komentar Ilmiah Klasik
Dari perspektif ilmu klasik, hadis ini menetapkan bahwa pernikahan mut'ah awalnya diizinkan dalam Islam tetapi kemudian dihapus. Mayoritas ulama berpendapat bahwa itu dilarang secara pasti oleh Nabi Muhammad ﷺ sendiri, meskipun beberapa narasi menunjukkan praktiknya berlanjut sebentar setelah wafatnya.
Larangan oleh Umar ibn al-Khattab bukanlah legislasi independen melainkan penegakan keputusan akhir Nabi. Komentator klasik menekankan bahwa konsensus (ijma') komunitas Muslim telah menetapkan ketidakbolehan pernikahan sementara, menganggapnya sebagai bagian dari agama yang telah disempurnakan.
Penyebutan "segenggam kurma atau tepung" sebagai mahar mengilustrasikan kesederhanaan pernikahan Muslim awal dan menunjukkan bahwa keabsahan pernikahan tidak bergantung pada jumlah mahar, melainkan pada pemenuhan kondisi kontrak yang tepat.
Status Hukum dalam Islam Klasik
Empat mazhab Sunni sepakat tentang larangan pernikahan sementara berdasarkan banyak narasi otentik dan konsensus ilmiah. Mereka menganggapnya sebagai kontrak tidak sah yang tidak membangun hubungan pernikahan yang benar.
Ulama klasik membedakan antara pernikahan sementara (dengan durasi tetap) dan pernikahan permanen, menekankan bahwa yang terakhir adalah satu-satunya bentuk pernikahan yang sah secara Islami yang memenuhi tujuan hukum Islam mengenai pembentukan keluarga, pelestarian keturunan, dan stabilitas sosial.