Seorang wanita yang telah menikah sebelumnya (Thayyib) memiliki hak lebih atas pribadinya daripada walinya; dan ayah seorang perawan harus meminta persetujuannya darinya, persetujuannya adalah keheningannya, Kadang-kadang dia berkata: Keheningannya adalah penegasannya.
Teks & Konteks Hadis
"Seorang wanita yang telah menikah sebelumnya (Thayyib) memiliki hak lebih atas dirinya daripada walinya; dan ayah seorang perawan harus meminta persetujuannya, persetujuannya adalah diamnya, Kadang-kadang dia berkata: Diamnya adalah persetujuannya." (Sahih Muslim 1421 c)
Hadis mulia ini dari Kitab Pernikahan menetapkan prinsip-prinsip dasar mengenai persetujuan perempuan dalam pernikahan Islam, membedakan antara wanita yang telah menikah sebelumnya dan perawan.
Komentar tentang Wanita yang Telah Menikah Sebelumnya
Thayyib (wanita yang telah menikah sebelumnya) memiliki otonomi penuh atas keputusan pernikahannya. Walinya tidak dapat memaksanya untuk menikah, karena dia memiliki pengalaman dalam kehidupan pernikahan dan lebih mampu menilai apa yang cocok untuknya.
Keputusan ini mencerminkan pengakuan Islam terhadap kematangan dan kebijaksanaan wanita yang diperoleh melalui pengalaman hidup, memberikan mereka agensi penuh dalam hal-hal yang mempengaruhi kehidupan pribadi mereka.
Keseimbangan Persetujuan Perawan & Perwalian
Untuk perawan, sementara ayah mempertahankan perwalian, dia harus mencari persetujuannya. Diamnya menunjukkan persetujuan, mencerminkan norma budaya kesopanan di mana persetujuan verbal eksplisit mungkin menyebabkan malu.
Pengulangan Nabi ("Kadang-kadang dia berkata...") menekankan pentingnya menafsirkan diam sebagai persetujuan, memastikan tidak ada wanita yang dinikahkan bertentangan dengan kehendaknya sambil menghormati kepekaan budaya.
Implikasi Hukum & Sosial
Hadis ini menetapkan bahwa pernikahan paksa tidak sah dalam hukum Islam. Persetujuan tetap menjadi landasan keabsahan pernikahan, dengan perwalian berfungsi sebagai bimbingan protektif daripada otoritas koersif.
Perbedaan antara perawan dan wanita yang telah menikah sebelumnya menunjukkan pemahaman Islam yang bernuansa tentang psikologi manusia dan keadaan sosial dalam legislasi.
Konsensus Ulama
Ulama klasik dari berbagai mazhab sepakat bulat bahwa persetujuan wanita sangat penting untuk keabsahan pernikahan. Peran wali adalah untuk memastikan kesesuaian dan perlindungan, bukan untuk mengesampingkan kehendak wanita.
Ajaran kenabian ini meningkatkan status wanita di Arab abad ke-7, menetapkan hak mereka untuk memilih pasangan hidup—sebuah konsep revolusioner dalam konteks sejarah itu.