"Aku melewati Nabi (صلى الله عليه وسلم) ketika dia sedang melakukan Wudu' dari sumur Buda'ah. Saya berkata: 'Apakah Anda melakukan Wudu' darinya ketika sampah dibuang ke dalamnya?' Dia berkata: 'Air tidak menjadi najis oleh apa pun.'"
Kitab Air - Sunan an-Nasa'i 327
"Aku melewati Nabi (ﷺ) ketika beliau sedang berwudu dari sumur Buda'ah. Aku berkata: 'Apakah Anda berwudu darinya ketika sampah dibuang ke dalamnya?' Beliau berkata: 'Air tidak menjadi najis oleh apa pun.'"
Komentar tentang Hadis
Hadis mulia ini menetapkan prinsip dasar dalam hukum penyucian Islam: kemurnian air yang melekat. Tanggapan Nabi, "Air tidak menjadi najis oleh apa pun," menunjukkan bahwa air tetap murni kecuali warna, rasa, atau baunya diubah oleh najis.
Para ulama menjelaskan bahwa badan air besar, seperti sumur Buda'ah, tidak menjadi najis dari kontaminan kecil karena volumenya. Kualitas esensial air tetap tidak berubah, sehingga mempertahankan kemurniannya untuk wudu dan tujuan agama lainnya.
Ajaran ini mencerminkan pendekatan praktis Islam terhadap kesucian, menghindari kesulitan yang tidak perlu sambil menjaga kebersihan spiritual. Keputusan ini berlaku untuk sungai yang mengalir, sumur besar, dan kumpulan air yang substansial di mana najis tidak mengubah sifat air secara fundamental.
Implikasi Yuridis
Menurut mayoritas ulama, air menjadi najis hanya ketika salah satu dari tiga kualitasnya (warna, rasa, atau bau) berubah karena kontaminasi. Jika karakteristik ini tetap tidak terpengaruh, air mempertahankan kemurniannya terlepas dari apa yang jatuh ke dalamnya.
Prinsip ini membentuk dasar untuk membedakan antara air suci (tahir) dan najis (najis) dalam yurisprudensi Islam, memberikan pedoman yang jelas bagi Muslim yang melakukan penyucian ritual.