"'Umar bin Al-Khattab berbicara kepada Sudut (Batu Hitam) dengan mengatakan, 'Demi Allah! Saya tahu bahwa Anda adalah batu dan tidak dapat menguntungkan atau merugikan. Seandainya aku tidak melihat Nabi (صلى الله عليه وسلم) menyentuh (dan mencium) kamu, aku tidak akan pernah menyentuh (dan mencium) kamu." Kemudian dia menciumnya dan berkata, 'Tidak ada alasan bagi kami untuk melakukan Ramal (di Tawaf) kecuali kami ingin pamer di hadapan orang-orang, dan sekarang Allah telah menghancurkan mereka.' 'Umar menambahkan, '(Namun demikian), Nabi (صلى الله عليه وسلم) melakukan itu dan kami tidak ingin meninggalkannya (yaitu Ramal).'
Komentar tentang Batu Hitam
Riwayat ini dari Sayyiduna 'Umar ibn al-Khattab (رضي الله عنه) menunjukkan kebijaksanaan mendalam para Sahabat dalam memahami ritual Islam. Pernyataannya "Saya tahu bahwa kamu adalah batu dan tidak dapat memberi manfaat maupun mudarat" menetapkan prinsip dasar Islam tauhid - bahwa semua kekuatan milik Allah semata. Tidak ada objek ciptaan yang memiliki kekuatan bawaan.
Ulama besar Ibn Hajar al-Asqalani menjelaskan dalam Fath al-Bari bahwa deklarasi 'Umar dimaksudkan untuk mendidik mereka yang mungkin salah paham tentang tujuan mencium Batu Hitam, mencegah potensi syirik sambil secara bersamaan menegaskan kewajiban mengikuti Sunnah Nabi.
Kebijaksanaan di Balik Mengikuti Sunnah
Tindakan 'Umar selanjutnya mencium Batu meskipun pemahaman intelektualnya menunjukkan prinsip penting ta'abbud - melakukan ibadah dalam ketundukan pada perintah ilahi, bahkan ketika kebijaksanaannya tidak sepenuhnya dipahami oleh akal manusia. Sebagaimana Imam al-Nawawi menyatakan, ini menggambarkan sikap yang benar seorang mukmin terhadap Syariah.
Ahli fikih Hanafi besar Ibn 'Abidin menjelaskan bahwa tindakan seperti itu dilakukan murni karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan karena kualitas bawaan dalam objek itu sendiri. Ini melestarikan bentuk luar dan semangat dalam ibadah.
Konteks Sejarah Ramal
Praktik Ramal (berjalan cepat sambil menggerakkan bahu) selama tiga putaran pertama Tawaf awalnya ditetapkan untuk menunjukkan kekuatan dan vitalitas Muslim kepada kaum pagan yang mengklaim Muslim dilemahkan oleh demam di Madinah. Sebagaimana Qadi 'Iyad menjelaskan dalam Ikmal al-Mu'allim, ini adalah alasan hukum sementara yang berakhir dengan hilangnya penyebabnya.
Namun, sebagaimana 'Umar menjelaskan, Nabi (ﷺ) melanjutkan praktik ini bahkan setelah alasan asli berhenti ada, sehingga menetapkannya sebagai Sunnah permanen. Ini menunjukkan prinsip hukum penting bahwa ketika keputusan ditetapkan oleh bukti tekstual, itu tetap berlaku bahkan jika kebijaksanaan yang tampak di belakangnya berubah.
Implikasi Hukum
Hadis ini menetapkan beberapa prinsip kunci: Pertama, mengikuti Sunnah didahulukan daripada penalaran pribadi. Kedua, ibadah harus dilakukan sebagaimana diajarkan oleh Nabi terlepas dari apakah kita memahami kebijaksanaan penuhnya. Ketiga, ini menunjukkan pelestarian teliti para Sahabat terhadap setiap detail praktik Nabi.
Sebagaimana Imam al-Suyuti catat dalam komentarnya, riwayat ini dengan indah menyeimbangkan penolakan takhayul dengan ketundukan penuh pada bimbingan ilahi, berfungsi sebagai model sempurna untuk praktik Islam di semua zaman.