Nabi (ﷺ) berkata, “Adam dan Musa saling bertengkar. Musa berkata kepada Adam. “Wahai Adam! Engkaulah ayah kami yang mengecewakan kami dan mengusir kami dari surga.” Lalu Adam berkata kepadanya, “Wahai Musa! Allah memberi nikmat kepadamu dengan perkataan-Nya (berbicara kepadamu secara langsung) dan Dia menulis (Taurat) untukmu dengan tangan-Nya sendiri. Apakah kamu menyalahkan aku atas perbuatan yang telah dituliskan Allah dalam nasibku empat puluh tahun sebelum aku diciptakan?” Jadi Adam mengacaukan Musa, Adam membingungkan Musa,” tambah Nabi (ﷺ), mengulangi Pernyataan itu tiga kali.
Kehendak Ilahi (Al-Qadar)
Sahih al-Bukhari 6614
Konteks Teologis
Hadis yang mendalam ini membahas keseimbangan halus antara ketetapan ilahi (qadar) dan tanggung jawab manusia. Argumen antara Adam dan Musa mewakili dua perspektif: Musa menekankan akuntabilitas manusia atas tindakan, sementara Adam menyoroti pengetahuan abadi Allah dan ketetapan yang telah ditentukan.
Pengetahuan Allah mencakup semua hal sebelum kejadiannya, seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur'an: "Dan di sisi-Nya kunci-kunci yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia" (6:59). Pembelaan Adam bertumpu pada prinsip dasar pengetahuan ilahi ini.
Interpretasi Ilmiah
Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa kemenangan Adam dalam debat ini menunjukkan bahwa ketetapan abadi Allah tidak meniadakan tanggung jawab manusia, namun tetap merupakan kenyataan yang harus diakui. Pengulangan "Adam membantah Musa" tiga kali menekankan kekuatan argumen Adam berdasarkan takdir ilahi.
Ibn Hajar al-Asqalani mencatat bahwa hadis ini mendamaikan dua keyakinan Islam yang esensial: keyakinan pada ketetapan ilahi dan keyakinan pada konsekuensi tindakan seseorang. Kedua kebenaran ini hidup berdampingan dalam teologi Islam tanpa kontradiksi.
Implikasi Praktis
Ajaran ini mendorong umat beriman untuk menjaga keseimbangan - berusaha melakukan kebaikan sambil mempercayai kebijaksanaan Allah. Kita bertanggung jawab atas pilihan kita, namun kita menyadari bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak dan pengetahuan Allah.
Hadis ini mengajarkan kerendahan hati, mengingatkan kita bahwa bahkan para nabi memperdebatkan masalah teologis yang kompleks, dan pengetahuan tertinggi hanya milik Allah.