Ketika kami bersama Rasulullah (ﷺ) dalam pertempuran suci, kami tidak pernah naik bukit atau mencapai puncaknya atau turun lembah tetapi mengangkat suara kami dengan Takbir. Rasulullah (ﷺ) mendekat kepada kami dan berkata, “Wahai manusia! Janganlah kamu berusaha keras, karena kamu tidak menyebut orang tuli atau yang absen, tetapi kamu memanggil Yang Maha Mendengar, Yang Maha Melihat. Nabi (ﷺ) kemudian berkata, “Wahai Abdullah bin Qais! Haruskah aku mengajarkan kepadamu sebuah kalimat yang berasal dari harta surga? (Itu adalah): 'La haula wala quwata illa billah. Tidak ada kekuatan dan kekuasaan kecuali di sisi Allah.
Konteks dan Kesempatan Wahyu
Narasi ini dari Sahih al-Bukhari 6610 dalam Kitab Kehendak Ilahi (Al-Qadar) menggambarkan ekspedisi militer di mana Para Sahabat dengan penuh semangat mengangkat suara mereka dalam Takbir saat menaiki dan menuruni medan. Nabi Muhammad (ﷺ) dengan lembut memperbaiki pendekatan mereka, mengajarkan mereka etika yang tepat dalam doa.
Koreksi Etika Spiritual
Instruksi Nabi "Jangan memaksakan diri" menunjukkan bahwa berteriak keras dalam ibadah tidak diperlukan ketika menghadap Allah, yang tidak tuli maupun absen. Ini mengajarkan moderasi dalam suara selama zikir, karena Allah mendengar bahkan bisikan hati.
Frasa "kamu memanggil Yang Maha Mendengar, Yang Maha Melihat" menekankan sifat-sifat sempurna Allah dalam mendengar dan melihat segalanya, menghilangkan kebutuhan akan upaya vokal yang berat dalam doa.
Harta Surga
Pernyataan "La haula wala quwata illa billah" (Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah) digambarkan sebagai bagian dari harta Surga, menunjukkan nilai dan pahala spiritualnya yang besar.
Para ulama menjelaskan bahwa frasa ini mengakui ketergantungan sepenuhnya pada Allah, mengakui bahwa semua kemampuan untuk menghindari ketidaktaatan dan melakukan ketaatan berasal semata-mata dari pemberian Ilahi.
Integrasi dengan Ketetapan Ilahi
Pengajaran ini sangat terkait dengan bab tentang Kehendak Ilahi (Al-Qadar), karena frasa tersebut mewujudkan penyerahan kepada ketetapan Allah sambil secara bersamaan mencari kekuatan-Nya untuk menghadapi tantangan hidup.
Takbir energetik awal Para Sahabat mewakili upaya manusia, sementara koreksi Nabi mengarahkan mereka untuk mengenali kekuatan Ilahi sebagai sumber utama semua kekuatan dan kemampuan.