Ketika Nabi (صلى الله عليه وسلم) datang ke Madinah, dia tinggal lebih dulu bersama kakek atau paman dari pihak ibu dari Ansar. Dia memanjatkan doanya menghadap Baitul-Maqdis (Yerusalem) selama enam belas atau tujuh belas bulan, tetapi dia berharap dia bisa berdoa menghadap Ka'bah (di Mekah). Doa pertama yang ia panjatkan menghadap Ka'bah adalah shalat Ashar di antara beberapa orang. Kemudian salah seorang dari mereka yang telah shalat itu bersamanya keluar dan melewati beberapa orang di sebuah masjid yang sedang membungkuk saat shalat mereka (menghadap Yerusalem). Dia berkata kepada mereka, "Demi Allah, aku bersaksi bahwa aku telah berdoa bersama Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) menghadap ke Mekah (Ka'bah).' Mendengar itu, orang-orang itu segera mengubah arah mereka ke arah Ka'bah. Orang-orang Yahudi dan orang-orang dalam kitab suci dulu senang melihat Nabi (صلى الله عليه وسلم) menghadap Yerusalem dalam doa, tetapi ketika dia mengubah arahnya ke arah Ka'bah, selama shalat, mereka tidak menyetujuinya.
Al-Bara' menambahkan, "Sebelum kami mengubah arah kami menuju Ka'bah (Mekah) dalam shalat, beberapa Muslim telah meninggal atau telah terbunuh dan kami tidak tahu apa yang harus dikatakan tentang mereka (mengenai doa mereka). Allah kemudian menyatakan: Dan Allah tidak akan pernah membuat imanmu hilang (yaitu doa-doa orang-orang Muslim itu sah).' " (2:143).
Perubahan Kiblat: Konteks Sejarah
Narasi ini dari Sahih al-Bukhari 40 menggambarkan transisi penting dari menghadap Yerusalem ke menghadap Ka'bah dalam sholat. Tinggalnya Nabi bersama kaum Ansar dan arah sholatnya selama enam belas bulan ke Baitul-Maqdis menunjukkan sifat gradual dari legislasi Islam, mempersiapkan komunitas untuk perubahan signifikan ini.
Sholat Ashar menandai implementasi pertama dari perintah ilahi untuk mengubah kiblat. Kepatuhan segera para sahabat setelah mendengar berita mencerminkan ketundukan mutlak mereka pada dekrit Allah dan kepercayaan tak tergoyahkan mereka pada bimbingan Nabi.
Komentar Ulama tentang Perubahan Kiblat
Kebijaksanaan di balik awalnya menghadap Yerusalem termasuk menguji ketaatan orang-orang beriman dan membedakan antara mereka yang mengikuti wahyu tanpa ragu dan mereka yang ragu-ragu. Itu juga membangun hubungan dengan tradisi Abrahamik sebelumnya sebelum menegaskan identitas Islam yang berbeda.
Persetujuan Yahudi terhadap kiblat awal dan ketidaksetujuan berikutnya terhadap perubahan mengungkapkan harapan mereka bahwa Nabi akan menyesuaikan diri dengan tradisi mereka. Perubahan kiblat dengan demikian berfungsi sebagai pemisahan yang tegas, menetapkan orientasi spiritual independen Islam menuju Rumah Allah primordial yang dibangun oleh Abraham dan Ismail.
Penegasan Ilahi dalam Wahyu
Kekhawatiran para sahabat tentang keabsahan sholat yang dilakukan oleh Muslim yang telah meninggal sebelum perubahan kiblat menunjukkan perhatian teliti mereka terhadap urusan agama. Tanggapan Allah dalam Surah Al-Baqarah (2:143) memberikan penghiburan yang mendalam, menegaskan bahwa sholat sebelumnya tetap sah dan diberi pahala.
Insiden ini menetapkan prinsip hukum penting bahwa tindakan dinilai sesuai dengan waktu dan konteksnya. Itu juga menunjukkan rahmat Allah dalam tidak membatalkan ibadah masa lalu karena perubahan legislatif berikutnya, mencerminkan sifat kasih sayang dari yurisprudensi Islam.