حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رضى الله عنه ـ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏"‏ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ ‏"‏‏.‏
Terjemahan
Diriwayatkan Abu Huraira

"Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) bersabda, "Demi Dia di tangan-Nya hidupku, tidak seorang pun dari kamu akan beriman sampai dia mengasihi aku lebih dari ayahnya dan anak-anaknya."

Comment

Fondasi Iman

Hadis mendalam ini dari Sahih al-Bukhari menetapkan kondisi fundamental untuk iman yang sempurna. Sumpah serius Nabi "Demi Dia yang di Tangan-Nya nyawaku" menekankan pentingnya kritis ajaran ini, menunjukkan posisi sentralnya dalam keyakinan Islam.

Sifat Cinta yang Diperlukan

Cinta yang dituntut di sini bukan sekadar kasih sayang emosional tetapi cinta yang komprehensif yang mencakup ketaatan, preferensi dalam urusan agama, dan mengikuti bimbingan Nabi di atas semua ikatan duniawi.

Cinta ini harus melebihi bahkan ikatan manusia alami terkuat - cinta untuk orang tua dan anak - menunjukkan bahwa iman membutuhkan prioritas bimbingan ilahi di atas kecenderungan alami ketika mereka bertentangan.

Interpretasi Ilmiah

Ulama klasik menjelaskan bahwa cinta ini terwujud melalui: mengikuti Sunnah dalam ucapan dan tindakan, memilih apa yang dibawa Nabi di atas keinginan pribadi, dan memiliki kerinduan intens untuk bertemu dengannya di Akhirat.

Imam An-Nawawi berkomentar bahwa hadis ini berarti cinta seseorang untuk Nabi harus begitu lengkap sehingga melampaui cinta untuk semua ciptaan lain, meskipun cinta untuk Allah tetap tertinggi dan pada dasarnya berbeda dalam sifatnya.

Implikasi Praktis

Ajaran ini mengharuskan Muslim untuk mempelajari kehidupan Nabi, meneladani karakternya, menerapkan ajarannya, dan membela kehormatannya. Ketika hal apa pun bertentangan dengan bimbingannya, Muslim harus memilih cara Kenabian terlepas dari preferensi pribadi atau keluarga.

Kelengkapan iman dengan demikian diukur oleh sejauh mana seseorang menginternalisasi dan mengaktualisasikan cinta untuk Rasul dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan teladannya sebagai kriteria utama untuk semua keputusan dan tindakan.