Ketika orang-orang Muslim tiba di Madinah, mereka biasa berkumpul untuk shalat, dan biasa menebak waktu untuk itu. Pada masa itu, praktik adzan untuk shalat belum diperkenalkan. Suatu kali mereka membahas masalah ini mengenai panggilan untuk berdoa. Beberapa orang menyarankan penggunaan lonceng seperti orang Kristen, yang lain mengusulkan terompet seperti tanduk yang digunakan oleh orang Yahudi, tetapi 'Umar adalah orang pertama yang menyarankan bahwa seseorang harus memanggil (orang-orang) untuk berdoa; maka Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) memerintahkan Bilal untuk bangun dan mengucapkan Adzan untuk shalat.
Konteks Historis Adzan
Narasi ini dari Sahih al-Bukhari 604 menggambarkan keadaan di Madinah sebelum legislasi ilahi Adzan. Kaum Muslim menghadapi kesulitan dalam menentukan waktu salat secara kolektif, menunjukkan kebijaksanaan di balik wahyu bertahap Allah tentang praktik Islam.
Penolakan Praktik Non-Muslim
Sahabat Nabi mempertimbangkan penggunaan lonceng seperti orang Kristen atau terompet seperti orang Yahudi, tetapi ini ditolak. Hal ini menetapkan prinsip Islam penting untuk mempertahankan identitas keagamaan yang berbeda dan menghindari peniruan agama lain dalam ibadah.
Kebijaksanaan Ilahi dalam Pemilihan
Saran Umar tentang pemanggil manusia diterima oleh Nabi melalui inspirasi ilahi. Suara manusia membawa makna dan spiritualitas tidak seperti instrumen, menjadikan Adzan sebagai pemberitahuan dan pengingat spiritual.
Kehormatan Bilal
Pengangkatan Bilal ibn Rabah, mantan budak Abyssinia, sebagai muadzin pertama menunjukkan meritokrasi Islam. Suaranya yang indah dan iman yang kuat membuatnya ideal untuk posisi terhormat ini, menghancurkan hambatan rasial dan sosial pra-Islam.
Keputusan Hukum yang Diambil
Para ulama mengambil dari hadis ini bahwa Adzan adalah Sunnah yang dikonfirmasi untuk lima salat harian dalam jamaah. Suara manusia adalah metode yang ditetapkan, dan muadzin harus memiliki suara yang kuat dan jelas untuk menjangkau komunitas secara efektif.