حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ـ رضى الله عنه ـ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏"‏ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ ‏"‏‏.‏
Terjemahan
Diriwayatkan 'Ali

Nabi (ﷺ) mengirim satu unit tentara (untuk beberapa kampanye) dan menunjuk seorang pria dari Ansar sebagai komandannya dan memerintahkan mereka (para prajurit) untuk mematuhinya. (Selama kampanye) dia menjadi marah kepada mereka dan berkata, "Bukankah Nabi (ﷺ) memerintahkan kamu untuk menaati Aku?" Mereka menjawab, "Ya." Dia berkata, "Aku memerintahkan kamu untuk mengumpulkan kayu dan membuat api dan kemudian melemparkan dirimu ke dalamnya." Jadi mereka mengumpulkan kayu dan membuat api, tetapi ketika mereka hendak melemparkan diri ke dalamnya, mereka mulai saling memandang, dan beberapa dari mereka berkata, "Kami mengikuti Nabi (ﷺ) untuk melarikan diri dari api. Bagaimana kita harus memasukinya sekarang?" Jadi ketika mereka berada dalam keadaan itu, api padam dan kemarahan komandan mereka mereda. Peristiwa itu disebutkan kepada Nabi (ﷺ) dan dia berkata, "Jika mereka masuk ke dalamnya (api) mereka tidak akan pernah keluar darinya, karena ketaatan hanya diperlukan dalam apa yang baik." (Lihat Hadis No. 629. Vol. 5)

Comment

Komentar Hadis dari Sahih al-Bukhari

Narasi ini dari Sahih al-Bukhari 7145 dalam Kitab Hukum (Ahkaam) menetapkan prinsip dasar dalam kepemimpinan dan ketaatan Islam. Nabi Muhammad (ﷺ) dengan jelas menggambarkan bahwa ketaatan kepada pemimpin bersyarat pada perintah mereka yang selaras dengan hukum ilahi dan kebaikan moral.

Analisis Ilmiah

Ulama klasik menjelaskan bahwa hadis ini menetapkan prinsip: "Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam ketidaktaatan kepada Sang Pencipta." Otoritas komandan Ansari sah, tetapi perintahnya untuk memasuki api merupakan ketidaktaatan yang jelas kepada Allah, sehingga membuatnya batal dan tidak berlaku.

Keraguan para prajurit menunjukkan penalaran Islam yang tepat - mereka mengenali kontradiksi antara mengikuti Nabi untuk menghindari Neraka dan diperintahkan untuk memasuki api duniawi. Kebijaksanaan kolektif mereka dalam berhenti sejenak mencerminkan prinsip Islam untuk berkonsultasi dan merenung ketika menghadapi perintah yang dipertanyakan.

Implikasi Hukum

Hadis ini membentuk dasar teori politik Islam mengenai pemberontakan yang sah dan ketidaktaatan sipil. Ulama seperti Imam Nawawi dan Ibn Hajar al-Asqalani menyimpulkan dari ini bahwa umat Islam tidak boleh menaati perintah apa pun yang melibatkan dosa, bahkan jika itu berasal dari otoritas yang sah.

Pernyataan terakhir Nabi "ketaatan hanya diperlukan dalam apa yang baik" (al-ta'ah fi'l-ma'roof) telah menjadi kaidah hukum dasar dalam yurisprudensi Islam, diterapkan pada semua hubungan otoritas - antara penguasa dan yang diperintah, majikan dan karyawan, orang tua dan anak.

Relevansi Kontemporer

Ajaran ini tetap penting dalam konteks modern di mana umat Islam harus menavigasi ketaatan kepada berbagai otoritas. Ini memberikan kerangka etika untuk menolak perintah yang tidak sah sambil mempertahankan rasa hormat yang tepat terhadap struktur kepemimpinan ketika mereka memerintahkan kebaikan.