Nabi (ﷺ) mempekerjakan Ibnu Al-Utbiyya untuk mengambil zakat dari Bani Sulaim, dan ketika dia kembali (dengan uang itu) kepada Rasulullah (ﷺ) Nabi (ﷺ) memanggilnya untuk bertanggung jawab, dan dia berkata, "(Jumlah) ini untukmu, dan ini diberikan kepadaku sebagai hadiah." Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Mengapa kamu tidak tinggal di rumah ayahmu atau rumah ibumu untuk melihat apakah kamu akan diberi hadiah atau tidak, jika kamu mengatakan yang sebenarnya?" Kemudian Rasulullah (ﷺ) berdiri dan berbicara kepada orang-orang, dan setelah memuliakan dan memuji Allah, dia berkata: Amma Ba'du (kemudian setelahnya) aku mempekerjakan beberapa orang dari antara kamu untuk pekerjaan yang telah Allah tetapkan dalam tanggung jawabku, dan kemudian salah seorang dari kamu datang kepadaku dan berkata, 'Ini (jumlah) untukmu dan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku.' Mengapa dia tidak tinggal di rumah ayahnya atau rumah ibunya dan melihat apakah dia akan diberi hadiah atau tidak jika dia mengatakan yang benar oleh Allah, tidak ada di antara kamu yang mengambil apapun darinya (yaitu, Zakat) untuk dirinya sendiri (Hisyam menambahkan: secara haram) tetapi dia akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat dengan membawanya di lehernya! Saya tidak ingin melihat ada di antara Anda yang membawa unta yang mendengus atau sapi yang mengerang atau domba yang mengembang saat bertemu Allah." Kemudian Nabi (ﷺ) mengangkat kedua tangannya sampai aku melihat ketiaknya yang putih, dan berkata, "(Tidak diragukan lagi)! Bukankah aku telah menyampaikan Pesan Allah!"
Insiden dan Konteksnya
Riwayat ini dari Sahih al-Bukhari 7197 mengenai Ibn Al-Utbiyya, yang ditunjuk oleh Nabi (ﷺ) untuk mengumpulkan Zakat dari Bani Sulaim. Setelah kembali, ia mengklaim sebagian dana adalah "hadiah" yang diberikan kepadanya secara pribadi, memisahkannya dari Zakat yang seharusnya.
Tanggapan Nabi (ﷺ) menetapkan prinsip kritis: mereka yang berada dalam posisi kepercayaan, terutama pengumpul dana publik seperti Zakat, tidak dapat menerima hadiah pribadi. "Hadiah" semacam itu pada dasarnya adalah suap atau penyalahgunaan, karena berasal dari kapasitas resmi individu tersebut.
Komentar Ulama (Tafsir/Sharh)
Larangan Hadiah untuk Pejabat: Pertanyaan retoris Nabi (ﷺ), "Mengapa kamu tidak tinggal di rumah ayahmu... untuk melihat apakah kamu akan diberi hadiah atau tidak?" menunjukkan bahwa hadiah yang diberikan kepada seseorang karena posisi resminya adalah tidak sah (haram). Ini dianggap sebagai bentuk ghulul (penyalahgunaan dana publik).
Keseriusan Dosa: Peringatan Nabi (ﷺ) bahwa siapa yang mengambil kekayaan seperti itu secara tidak sah akan "bertemu Allah pada Hari Kebangkitan membawanya di lehernya" menekankan konsekuensi spiritual yang parah. Gambaran membawa unta yang mendengus atau domba yang mengembik menandakan beban dan paparan publik dosa pada Hari Penghakiman.
Prinsip Akuntabilitas: Nabi (ﷺ) secara publik meminta pertanggungjawaban pengumpul, menetapkan transparansi dan akuntabilitas bagi mereka yang menangani amanah publik. Ini menetapkan preseden untuk tata kelola Islam.
Deklarasi Terakhir: Dengan mengangkat tangannya dan bertanya, "Bukankah aku telah menyampaikan Pesan Allah!" Nabi (ﷺ) menekankan asal ilahiah dari keputusan ini, menjadikannya kewajiban agama yang mengikat bagi semua Muslim.
Keputusan Hukum (Ahkaam) yang Diambil
1. Sangat dilarang (haram) bagi pejabat atau karyawan mana pun untuk menerima hadiah karena posisi mereka.
2. Dana publik (seperti Zakat) harus dilindungi dari segala bentuk penyalahgunaan.
3. Pemimpin harus meminta pertanggungjawaban pejabat atas penanganan amanah publik.
4. Dosa penyalahgunaan dana publik termasuk yang terberat, dengan konsekuensi parah di Akhirat.
5. Prinsip ini berlaku luas untuk semua posisi otoritas di mana seseorang menangani kekayaan atau kepentingan orang lain.