Aku berkata, “Wahai Rasulullah (ﷺ)! Seorang perawan merasa malu.” Dia berkata, “Persetujuannya (diungkapkan oleh) kediamannya.”
Teks Hadis
"Aku berkata, 'Wahai Rasulullah! Seorang perawan merasa malu.' Beliau bersabda, 'Persetujuannya (diungkapkan dengan) diamnya.'"
Sahih al-Bukhari 5137
Konteks dan Latar Belakang
Hadis ini membahas metode yang tepat untuk mendapatkan persetujuan dari pengantin perawan, mengakui rasa malu dan kesopanan alaminya dalam urusan pernikahan.
Penanya kemungkinan adalah wali yang mencari bimbingan tentang cara memastikan kesediaan seorang perawan untuk menikah ketika norma budaya mencegahnya berbicara secara terbuka.
Komentar Ulama
Ulama klasik menjelaskan bahwa diam dalam konteks ini menunjukkan persetujuan, bukan paksaan. Nabi (ﷺ) menetapkan prinsip ini untuk melindungi hak-hak perempuan sambil menghormati kesopanan alami mereka.
Imam al-Nawawi menyatakan: "Diam di sini berarti tidak adanya keberatan ketika proposal pernikahan disampaikan kepadanya. Ini berlaku khusus untuk perawan karena rasa malu mereka yang lebih tinggi."
Ibn Hajar al-Asqalani menjelaskan: "Keputusan ini berlaku ketika wali menawarkan pasangan yang cocok. Jika perempuan tetap diam tanpa menunjukkan ketidaksenangan, ini merupakan persetujuan hukum untuk pernikahan."
Keputusan Hukum dan Kondisi
Mayoritas ulama berpendapat bahwa diam seorang perawan merupakan persetujuan yang sah hanya ketika: 1) Calon suami yang diusulkan cocok (kuf'), 2) Wali adalah wali hukumnya, 3) Tidak ada tanda-tanda ketidaksenangan atau penolakan yang jelas.
Jika perempuan secara eksplisit menolak, penolakannya harus dihormati terlepas dari status keperawanannya. Diam sebagai persetujuan adalah konsesi, bukan cara untuk mengesampingkan keberatan yang jelas.
Penerapan Kontemporer
Ulama modern menekankan bahwa keputusan ini harus dipahami dalam konteks yang tepat dan tidak boleh digunakan untuk memaksa pernikahan.
Prinsip dasarnya tetap melindungi persetujuan dan martabat perempuan. Dalam praktik kontemporer, persetujuan verbal lebih disukai jika memungkinkan, sambil tetap menghormati sensitivitas budaya terkait kesopanan.