Seorang pria di antara kami melahirkan seorang anak laki-laki yang dia beri nama Al-Qasim. Pada saat itu Ansar berkata, (kepada orang itu), “Kami tidak akan pernah memanggilmu Abu al-Qasim dan tidak akan pernah menyenangkan Anda dengan gelar yang diberkati ini.” Maka, dia pergi ke Nabi dan berkata, “Wahai Rasulullah (ﷺ)! Saya telah melahirkan seorang anak laki-laki yang saya beri nama Al-Qasim dan Ansar berkata, 'Kami tidak akan pernah memanggilmu Abu al-Qasim, kami juga tidak akan menyenangkan Anda dengan gelar ini. '” Nabi (ﷺ) berkata, “Ansar telah berbuat baik. Sebut dengan namaku, tetapi jangan beri nama dengan Kunya-ku, karena aku adalah Qasim.”
Teks dan Konteks Hadis
Riwayat ini dari Sahih al-Bukhari (Kitab 77, Hadis 95) menggambarkan seorang sahabat yang menamai anaknya Al-Qasim, mendorong kaum Ansar untuk menolak dia dipanggil Abu-al-Qasim (ayah dari Qasim).
Sahabat tersebut membawa masalah ini kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang menegaskan posisi kaum Ansar, mengizinkan penggunaan namanya Muhammad tetapi melarang penggunaan kunya-nya (patronimik) Abu-al-Qasim.
Komentar Ilmiah
Ulama klasik menjelaskan bahwa larangan ini berasal dari kehormatan dan keistimewaan unik kunya Nabi. Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menyatakan bahwa ini untuk mencegah kebingungan dalam menyapa Nabi ﷺ dan untuk mempertahankan penghormatan khusus yang melekat pada patronimiknya.
Imam al-Nawawi dalam Sharh Sahih Muslim menjelaskan bahwa meskipun menggunakan nama "Muhammad" diizinkan karena cinta kepada Nabi, menggunakan kunya persisnya dapat menyebabkan kesalahpahaman atau mengurangi kehormatan istimewa yang disediakan untuk Utusan Allah.
Keputusan Hukum dan Penerapan
Mayoritas ulama menyimpulkan dari hadis ini keputusan makruh (tidak disukai) untuk menggunakan kunya persis "Abu-al-Qasim" untuk siapa pun selain Nabi ﷺ selama hidupnya dan setelah kematiannya.
Namun, para ulama mencatat bahwa larangan ini berlaku khusus untuk kombinasi "Abu-al-Qasim" dan tidak meluas ke kuniya lainnya (patronimik). Hikmah di balik keputusan ini melestarikan identitas dan kehormatan unik Nabi Terakhir.
Signifikansi Spiritual
Ajaran ini menunjukkan keseimbangan antara mengekspresikan cinta kepada Nabi dengan menamai anak-anak seperti namanya, sambil mempertahankan etiket yang tepat dan menghindari apa pun yang dapat membahayakan status uniknya.
Kepekaan kaum Ansar terhadap masalah ini mencerminkan pemahaman mendalam mereka tentang kehormatan kenabian dan komitmen mereka untuk melestarikan perbedaan yang mengangkat Utusan di atas semua ciptaan lainnya.