حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ، عَنْ أَبِي حَصِينٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رضى الله عنه ـ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏"‏ تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ ‏"‏‏.‏
Terjemahan
Narasi Abu Huraira

Rasulullah SAW bersabda, “Binasakanlah hamba Dinar, Dirham, Qatifa (kain lembut tebal), dan Khamisa (pakaian), karena jika dia diberi, dia senang; jika tidak dia tidak puas.” ﷺ

Comment

Teks dan Konteks Hadis

Nabi (ﷺ) bersabda, "Celakalah hamba Dinar, Dirham, Qatifa (kain lembut tebal), dan Khamisa (pakaian), karena jika dia diberi, dia senang; jika tidak, dia tidak puas." (Sahih al-Bukhari 6435)

Hadis yang mendalam ini dari Kitab "Melembutkan Hati (Ar-Riqaq)" dalam Sahih al-Bukhari membahas penyakit spiritual materialisme dan keterikatan duniawi.

Makna Istilah Kunci

Dinar dan Dirham: Ini adalah mata uang emas dan perak pada masa itu, mewakili kekayaan dan harta benda.

Qatifa dan Khamisa: Jenis pakaian mewah, melambangkan keterikatan pada pakaian halus, simbol status, dan kenyamanan duniawi.

"Celakalah hamba": Ekspresi kuat yang menunjukkan kehancuran dan kerusakan spiritual, bukan kutukan tetapi peringatan tentang konsekuensi yang tak terhindarkan dari perbudakan semacam itu.

Komentar Ulama

Ibn Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa hadis ini memperingatkan agar tidak menjadi diperbudak oleh hal-hal duniawi, di mana kebahagiaan dan kesedihan seseorang ditentukan oleh perolehan atau kehilangan harta benda.

Al-Qurtubi mencatat bahwa Nabi secara khusus menyebutkan barang-barang ini karena mereka adalah objek keinginan yang paling umum pada zamannya, tetapi prinsipnya berlaku untuk semua keterikatan duniawi.

Ibn Rajab al-Hanbali menekankan bahwa hamba sejati adalah orang yang hatinya terikat pada apa yang dia inginkan - jika dia mendapatkannya, dia senang; jika ditolak, dia menjadi marah dan tidak puas dengan ketetapan Allah.

Implikasi Spiritual

Hadis ini mengajarkan bahwa ibadah sejati memerlukan pembebasan hati dari perbudakan kepada apa pun selain Allah. Ketika harta benda mengendalikan keadaan emosional seseorang, mereka secara efektif telah menjadi tuhan seseorang.

Ulama Ibn al-Qayyim menyatakan bahwa perbudakan spiritual ini terwujud dalam kecemasan konstan, ketidakpuasan, dan ketidaksyukuran - kebalikan dari kepuasan (qana'ah) dan kepercayaan pada Allah yang menjadi ciri orang beriman.

Hadis ini tidak melarang memiliki kekayaan, tetapi memperingatkan terhadap keterikatan hati padanya. Ujiannya adalah apakah seseorang tetap puas dan bersyukur kepada Allah terlepas dari apa yang dimilikinya.

Aplikasi Praktis

Ulama menasihati pemeriksaan diri secara teratur: Apakah kebahagiaan saya bergantung pada memperoleh hal-hal baru? Apakah kekecewaan dalam urusan duniawi mempengaruhi ibadah dan hubungan saya dengan Allah?

Obatnya termasuk: meningkatkan ingatan akan kematian dan akhirat, mempraktikkan sedekah sukarela, merenungkan sifat sementara kehidupan duniawi, dan menumbuhkan rasa syukur atas apa yang sudah dimiliki.

Seperti yang dicatat Imam al-Ghazali, orang yang benar-benar bebas adalah orang yang menggunakan sarana duniawi sebagai alat untuk tujuan yang lebih tinggi, bukan sebagai tujuan itu sendiri yang memperbudak hati.