حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏"‏ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ‏"‏ ‏.‏
Terjemahan
'Aisyah melaporkan bahwa Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) berdoa suatu malam di masjid dan orang-orang juga berdoa bersamanya. Dia kemudian berdoa pada malam berikutnya dan ada banyak orang. Kemudian pada malam ketiga atau keempat (banyak orang) berkumpul di sana, tetapi Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) tidak keluar kepada mereka (karena memimpin shalat Tarawih). Ketika pagi dia berkata

Aku melihat apa yang kamu lakukan, tetapi aku tidak mau datang kepadamu (dan memimpin doa) karena aku takut doa ini akan menjadi kewajiban bagimu. (Dia perawi) berkata: Itu adalah bulan Ramadhan.

Comment

Kitab Doa - Para Musafir

Penulis: Sahih Muslim | Referensi Hadis: Sahih Muslim 761a

Teks Hadis

"Aku melihat apa yang kalian lakukan, tetapi aku menahan diri untuk datang kepada kalian (dan memimpin shalat) karena aku khawatir shalat ini menjadi wajib bagi kalian." (Perawi) berkata: Itu adalah bulan Ramadan.

Komentar

Riwayat ini menunjukkan kebijaksanaan mendalam Nabi Muhammad (semoga damai besertanya) dalam hal-hal legislasi. Nabi menahan diri untuk secara resmi memimpin shalat Taraweeh secara berjamaah selama Ramadan, meskipun mengetahui para sahabatnya shalat secara individu, karena kekhawatirannya bahwa itu mungkin menjadi wajib (fard) bagi komunitas Muslim.

Ini mencerminkan prinsip legislasi bertahap (tadrij) dalam hukum Islam dan rahmat Nabi dalam tidak membebani umatnya. Kebijaksanaan di balik ini adalah untuk mempertahankan status sukarela (nafl) dari shalat Taraweeh sambil memungkinkan fleksibilitas untuk keadaan individu. Kemudian, pada masa Khalifah Umar, ketika tidak ada lagi kekhawatiran menjadi wajib, jamaah secara resmi ditetapkan sebagai sunnah yang dikonfirmasi.

Hadis ini juga mengajarkan kita tentang pentingnya mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dalam urusan agama dan keseimbangan hati-hati antara mendorong perbuatan baik dan menghindari kesulitan yang tidak perlu bagi para mukmin.