وَحَدَّثَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ جَدِّي، قَالَ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ قَالَ أَتَى رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ ‏.‏ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَتَنَحَّى تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَقَالَ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ ‏.‏ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى ثَنَى ذَلِكَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ دَعَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ‏"‏ أَبِكَ جُنُونٌ ‏"‏ ‏.‏ قَالَ لاَ ‏.‏ قَالَ ‏"‏ فَهَلْ أَحْصَنْتَ ‏"‏ ‏.‏ قَالَ نَعَمْ ‏.‏ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏"‏ اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ ‏"‏ ‏.‏
Terjemahan
Abu Sa'id melaporkan bahwa seseorang yang berasal dari marga Aslam, yang disebut Ma, iz b. Malik, datang kepada Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) dan berkata

Aku telah melakukan percabulan, maka jatuhkan hukuman kepadaku. Rasul Allah (صلى الله عليه وسلم) menolaknya lagi dan lagi. Dia kemudian bertanya kepada orang-orangnya (tentang keadaan pikirannya). Mereka berkata: Kami tidak tahu tentang penyakit apa pun yang dialaminya kecuali bahwa dia telah melakukan sesuatu yang dia pikir bahwa dia tidak akan dapat membebaskan dirinya dari bebannya kecuali dengan Hadd yang dibebankan kepadanya. Dia (Ma'iz) kembali kepada Rasul Allah (صلى الله عليه وسلم) dan dia memerintahkan kami untuk melempari dia. Kami membawanya ke Baqi' al-Gharqad (kuburan Madinah). Kami tidak mengikatnya atau menggali parit untuknya. Kami menyerangnya dengan tulang, dengan gumpalan dan kerikil. Dia melarikan diri dan kami mengejarnya sampai dia tiba di tanah (al-Harra) dan berhenti di sana dan kami melempari dia dengan batu-batu berat dari Harra sampai dia menjadi tidak bergerak (lie mati). Dia (Nabi Suci) kemudian berbicara kepada (kita) pada malam hari dengan mengatakan Setiap kali kami memulai ekspedisi demi Allah, beberapa dari mereka yang berhubungan dengan kami menjerit (di bawah tekanan nafsu seksual) seperti suara kambing jantan. Sangat penting bahwa jika seseorang yang telah melakukan perbuatan seperti itu dibawa kepada saya, saya harus menghukumnya. Dia tidak memohon pengampunan untuknya atau mengutuknya.

Comment

Kitab Hukuman Hukum - Sahih Muslim 1694a

Narasi ini dari Sahih Muslim menyajikan kasus Ma'iz ibn Malik yang mengaku berzina dan terus-menerus mencari hukuman hukum yang ditetapkan (hadd) dari Nabi Muhammad (ﷺ).

Komentar Ilmiah tentang Pengakuan

Penolakan berulang Nabi terhadap pengakuan Ma'iz menunjukkan prinsip hukum Islam dalam mencari alasan dan jalan untuk bertobat kapan pun memungkinkan. Para ulama mencatat bahwa ini mencerminkan rahmat yang melekat dalam hukum Islam, di mana hukuman tidak dicari tetapi dihindari melalui keraguan atau pertobatan.

Pertanyaan Nabi tentang keadaan mental Ma'iz menetapkan prinsip hukum penting lainnya: persyaratan akal sehat dan pemahaman untuk pelaksanaan hukuman hadd. Hanya setelah memverifikasi kompetensi mentalnya melalui komunitasnya, hukuman dilanjutkan.

Pelaksanaan Hukuman

Metode rajam yang dijelaskan - tanpa ikatan atau lubang - mengikuti praktik kenabian khusus untuk hukuman ini. Para ulama menjelaskan bahwa metode ini memungkinkan kemungkinan melarikan diri, yang akan menjadi pengampunan ilahi.

Upaya Ma'iz untuk melarikan diri selama rajam signifikan dalam komentar klasik. Beberapa ulama melihat pelariannya sebagai ekspresi insting alami manusia untuk mempertahankan diri, sementara yang lain melihatnya sebagai hal yang berpotensi membatalkan hukuman jika ia berhasil melarikan diri.

Tanggapan Kenabian dan Kebijaksanaan Hukum

Khotbah Nabi berikutnya menekankan pentingnya menjaga disiplin moral bahkan selama kampanye militer. Komentator klasik mencatat bahwa ini menghubungkan moralitas individu dengan kekuatan spiritual kolektif.

Sikap netral Nabi - tidak mencari pengampunan maupun mengutuk Ma'iz - mewujudkan pendekatan seimbang yang diambil hukum Islam terhadap kasus-kasus seperti itu. Para ulama menjelaskan bahwa ini menunjukkan bahwa sekali persyaratan hukum terpenuhi, masalah tersebut diserahkan kepada penghakiman Ilahi.