Nabi (صلى الله عليه وسلم) memasuki Mekkah. Ada tiga ratus enam puluh berhala di sekitar Ka'bah. Dia mulai menusukkan mereka dengan tongkat yang ada di tangannya dan berkata: "Kebenaran telah datang dan kepalsuan telah lenyap. Lo! kepalsuan ditakdirkan untuk lenyap" (xvii. 8). Kebenaran telah tiba, dan kepalsuan tidak dapat menciptakan apa pun sejak awal dan tidak dapat dipulihkan ke dalam kehidupan
Kitab Jihad dan Ekspedisi - Sahih Muslim 1781a
Narasi ini dari Sahih Muslim menggambarkan masuknya Nabi Muhammad (ﷺ) yang penuh kemenangan ke Mekah dan pemurniannya terhadap Ka'bah dari berhala-berhala politeistik. Tindakan Nabi menunjukkan prinsip Islam fundamental tauhid (monoteisme) dan pemberantasan syirik (menyekutukan Allah).
Konteks dan Signifikansi Sejarah
Penaklukan Mekah menandai momen penting dalam sejarah Islam, terjadi pada tahun ke-8 setelah Hijrah. 360 berhala di sekitar Ka'bah mewakili tahun-tahun kalender pra-Islam dan berbagai dewa suku yang disembah oleh Quraisy dan suku-suku Arab lainnya.
Penghancuran berhala-berhala ini secara metodis oleh Nabi sambil melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an melambangkan kemenangan lengkap monoteisme Islam atas paganisme Arab. Penggunaan tongkat daripada pedang menunjukkan bahwa berhala-berhala itu tidak memiliki kekuatan nyata dan dapat dengan mudah dibongkar.
Koneksi Qurani dan Makna Teologis
Ayat yang dilantunkan oleh Nabi (ﷺ) - "Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap" (Surah Al-Isra 17:8) - dengan sempurna menangkap signifikansi momen tersebut. Ulama klasik seperti Ibnu Katsir menjelaskan bahwa "kebenaran" merujuk pada Islam dan tauhid, sementara "kebatilan" menandakan syirik dan penyembahan berhala.
Pernyataan penutup "kebatilan tidak dapat menciptakan apa pun dari awal maupun menghidupkan kembali" menekankan atribut eksklusif Allah dalam penciptaan dan pemberian kehidupan, yang pada dasarnya tidak dimiliki oleh berhala dan tuhan-tuhan palsu.
Komentar Ilmiah
Imam Al-Nawawi, dalam komentarnya tentang Sahih Muslim, menyoroti bahwa peristiwa ini menetapkan Ka'bah sebagai tempat suci monoteistik murni selamanya. Para ulama mencatat bahwa pendekatan Nabi yang tenang dan metodis menunjukkan bahwa ini bukanlah tindakan balas dendam melainkan pemurnian agama.
Komentator klasik menekankan bahwa penghancuran berhala berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa Islam sepenuhnya menolak segala bentuk perantara antara Pencipta dan ciptaan-Nya, menetapkan penyembahan langsung hanya kepada Allah.