Aku dan Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) kebetulan melewati orang-orang di dekat pohon kurma. Dia (Nabi Suci) berkata: Apa yang dilakukan orang-orang ini? Mereka berkata: Mereka mencangkok, yaitu mereka menggabungkan jantan dengan betina (pohon) dan dengan demikian mereka menghasilkan lebih banyak buah. Setelah itu Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) bersabda: Aku tidak merasa itu berguna. Orang-orang diberitahu tentang hal itu dan mereka meninggalkan praktik ini. Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) (kemudian) diberitahu (bahwa hasil telah berkurang), lalu dia berkata: Jika ada gunanya, maka mereka harus melakukannya, karena itu hanya pendapat pribadi saya, dan jangan mengikuti pendapat pribadi saya; dan apabila aku mengatakan kepadamu sesuatu atas nama Allah, maka terimalah, karena aku tidak menganggap dusta kepada Allah Yang Maha Mulia.
Kitab Keutamaan - Sahih Muslim 2361
Narasi ini dari Sahih Muslim menunjukkan perbedaan mendalam antara peran Nabi ﷺ sebagai penerima wahyu ilahi dan penilaian manusianya dalam urusan duniawi. Insiden ini terjadi ketika Nabi ﷺ dan sahabatnya melewati orang-orang yang mencangkok pohon kurma.
Komentar Ilmiah
Pendapat awal yang diungkapkan oleh Nabi ﷺ mengenai pencangkokan kurma didasarkan pada penalaran pribadinya (ijtihad) daripada wahyu ilahi. Ketika hasil panen menurun setelah orang-orang meninggalkan praktik tersebut, Nabi ﷺ menjelaskan perbedaan penting ini.
Hadis ini menetapkan beberapa prinsip penting: Pernyataan Nabi ﷺ dalam urusan duniawi tunduk pada penilaian manusia, sementara pernyataan agamanya adalah wahyu yang mengikat. Ini mengajarkan umat Islam untuk membedakan antara ketidakbersalahan kenabian dalam menyampaikan wahyu dan kekeliruannya dalam keahlian duniawi.
Ulama klasik menekankan bahwa insiden ini menunjukkan kerendahan hati dan kejujuran Nabi ﷺ dalam memperbaiki pendapat pribadinya, memperkuat kejujurannya dalam urusan agama. Kepatuhan segera para sahabat menunjukkan pemahaman mereka tentang perbedaan ini.
Implikasi Hukum dan Teologis
Narasi ini berfungsi sebagai bukti dasar untuk kebolehan penalaran independen (ijtihad) dalam Islam dan menjelaskan bahwa pendapat pribadi Nabi ﷺ dalam urusan duniawi bukan bagian dari legislasi agama kecuali dikonfirmasi oleh wahyu.
Ulama menyimpulkan dari ini bahwa keahlian dalam bidang khusus harus dicari dari para profesional yang berkualifikasi, karena bahkan Nabi ﷺ mengacu pada pengalaman praktis dalam urusan pertanian setelah manfaatnya ditunjukkan.