Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah melarang penjualan anggur, bangkai, babi dan berhala, Dikatakan "Rasulullah, kamu melihat bahwa lemak bangkai itu digunakan untuk melapisi perahu dan mempernis kulit dan orang-orang menggunakannya untuk tujuan penerangan, lalu dia berkata: Tidak, itu dilarang, Kemudian Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) bersabda: Semoga Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung membinasakan orang-orang Yahudi; ketika Allah melarang penggunaan lemak bangkai bagi mereka, mereka melelehkannya, lalu menjualnya dan menggunakan harganya (yang diterima darinya).
Kitab Musaqah - Sahih Muslim 1581a
Narasi ini dari Sahih Muslim menetapkan larangan mendasar terhadap zat-zat najis tertentu dalam transaksi komersial Islam, menekankan kesucian perintah ilahi.
Zat yang Dilarang dalam Perdagangan
Nabi (ﷺ) secara eksplisit melarang empat kategori: anggur (minuman memabukkan), bangkai (maytah), babi, dan berhala. Larangan ini melampaui sekadar konsumsi untuk mencakup semua urusan komersial, karena transaksi yang melibatkan zat haram itu sendiri adalah haram.
Kebijaksanaan di balik larangan ini terletak pada pelestarian kemurnian spiritual, kesehatan fisik, dan integritas moral dalam komunitas Muslim.
Klarifikasi tentang Penggunaan Lemak Bangkai
Ketika para sahabat menanyakan tentang penggunaan lemak bangkai yang mungkin diizinkan untuk tujuan praktis seperti pelapisan perahu, pernis kulit, atau bahan bakar penerangan, Nabi (ﷺ) mempertahankan larangan mutlak.
Ini menunjukkan bahwa larangan mencakup semua bentuk pemanfaatan, terlepas dari transformasi atau tujuan yang dimaksud, melestarikan sifat komprehensif dari perintah ilahi.
Kecaman terhadap Penghindaran Hukum
Kecaman Nabi terhadap praktik Yahudi mengenai lemak bangkai menggambarkan dosa berat dari penghindaran hukum (hiyal). Dengan melelehkan dan menjual lemak yang dilarang, mereka secara teknis menghindari konsumsi langsung sambil melanggar semangat larangan.
Ini berfungsi sebagai peringatan permanen terhadap upaya untuk melewati perintah ilahi melalui teknis, menekankan bahwa hukum Islam mempertimbangkan baik huruf maupun semangat dari perintah agama.
Implikasi Ilmiah
Para ulama klasik menyimpulkan dari hadis ini bahwa zat apa pun yang pada dasarnya dilarang tidak dapat menjadi halal melalui transformasi atau perubahan bentuk. Larangan asli tetap melekat terlepas dari perubahan fisik.
Selanjutnya, pendapatan yang berasal dari sumber yang tidak sah tetap tidak diizinkan, menetapkan prinsip bahwa cara mencari nafkah harus murni bersama dengan zat itu sendiri.