Emas harus dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai demi jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam, seperti dengan sejenisnya, pembayaran dilakukan dengan tangan ke tangan. Dia yang membuat penambahan, atau meminta penambahan, sebenarnya berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.
Larangan Riba dalam Transaksi Barter
Hadis mulia ini dari Sahih Muslim menetapkan prinsip-prinsip dasar yang mengatur transaksi yang melibatkan komoditas tertentu yang dikenal sebagai "barang ribawi." Nabi Muhammad (semoga damai besertanya) secara eksplisit melarang segala bentuk riba dalam pertukaran enam barang yang ditentukan ini: emas, perak, gandum, jelai, kurma, dan garam.
Syarat untuk Pertukaran yang Diperbolehkan
Untuk transaksi yang sah dan sesuai dengan syariat Islam dari barang-barang ini, dua syarat ketat harus dipenuhi secara bersamaan. Pertama, pertukaran harus "sejenis dengan sejenis" (mithlan bi-mithlin) dalam hal kuantitas dan kualitas saat memperdagangkan komoditas yang sama. Kedua, pengalihan kepemilikan harus "tangan ke tangan" (yadan bi-yadin), artinya penyelesaian segera tanpa penundaan.
Komentar Ulama tentang Riba al-Fadl
Larangan terhadap "tambahan" mengacu pada Riba al-Fadl - kelebihan yang diambil dalam pertukaran komoditas yang sama. Ulama klasik menjelaskan bahwa ini melindungi keadilan dan mencegah riba tersembunyi. Hikmah di balik penentuan komoditas khusus ini terletak pada fungsinya sebagai standar moneter (emas dan perak) atau barang makanan pokok yang diukur dengan berat atau volume.
Tanggung Jawab Setara dalam Dosa
Hadis ini diakhiri dengan peringatan keras bahwa kedua pihak dalam transaksi riba - yang memberi kelebihan dan yang menerimanya - sama-sama berbagi dalam dosa. Ini menekankan bahwa kepatuhan terhadap hukum komersial Islam adalah tanggung jawab kolektif, dan tidak ada peserta dalam transaksi terlarang yang dapat mengklaim tidak bersalah.