Saya dan Hafsa sepakat bahwa seseorang yang akan dikunjungi oleh Rasul Allah (صلى الله عليه وسلم) terlebih dahulu harus berkata: Saya perhatikan bahwa Anda memiliki bau Maghafir (gum mimosa). Dia (Nabi Suci) mengunjungi salah satu dari mereka dan dia berkata kepadanya seperti ini, lalu dia berkata: Saya telah mengambil madu di rumah Zainab binti Jabsh dan saya tidak akan pernah melakukannya lagi. Pada saat inilah ayat berikut diturunkan: 'Mengapa kamu menganggap dilarang apa yang Allah jadikan halal bagimu... (hingga). Jika kamu berdua ('Aisyah dan Hafsa) berpalinglah kepada Allah "hingga: "Dan ketika Nabi menceritakan suatu informasi kepada salah satu istrinya" (lxvi. 3). Ini mengacu pada perkataannya: Tetapi aku telah mengambil madu.
Kitab Perceraian - Sahih Muslim 1474a
Narasi ini dari Sahih Muslim mengungkapkan kebijaksanaan mendalam mengenai hubungan pernikahan dan bimbingan ilahi. Insiden ini menunjukkan bagaimana Allah melindungi kehormatan Nabi-Nya sambil memberikan petunjuk untuk seluruh Ummah.
Analisis Kontekstual
Istri-istri Nabi 'Ā'isha dan Hafsa merencanakan sesuatu mengenai aroma Maghāfir (getah akasia), yang mengarah pada turunnya ayat-ayat korektif. Ini menunjukkan bagaimana bahkan Ibu Orang-Orang Beriman tunduk pada emosi manusia dan memerlukan bimbingan ilahi.
Tanggapan Nabi - menjelaskan bahwa ia telah mengonsumsi madu di rumah Zainab - mencerminkan sifat transparannya dan komitmennya pada kebenaran, bahkan dalam urusan pribadi.
Implikasi Hukum dan Spiritual
Insiden ini menekankan larangan menyatakan hal-hal yang halal sebagai terlarang tanpa otoritas ilahi. Ayat-ayat Al-Qur'an (66:1-4) yang menyusul menetapkan prinsip-prinsip penting tentang sumpah dan kepercayaan suci kerahasiaan pernikahan.
Para ulama mencatat bahwa peristiwa ini mengajarkan pentingnya ketulusan dalam tobat dan kebijaksanaan di balik wahyu bertahap Allah tentang hukum-hukum, menangani situasi saat terjadi di komunitas Muslim.
Komentar Ilmiah
Komentator klasik menekankan bahwa insiden ini melayani berbagai tujuan: memperbaiki kesalahpahaman, menetapkan ketidakbersalahan kenabian dalam menyampaikan wahyu, dan mengajarkan perilaku yang tepat dalam hubungan pernikahan.
Narasi ini juga menggambarkan bagaimana Allah melindungi Utusan-Nya dari segala ketidaksempurnaan sambil menggunakan kejadian sehari-hari untuk memberikan bimbingan abadi bagi umat manusia.