وَحَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، ح وَحَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى التُّجِيبِيُّ، - وَاللَّفْظُ لَهُ - أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّ عَائِشَةَ، قَالَتْ لَمَّا أُمِرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِتَخْيِيرِ أَزْوَاجِهِ بَدَأَ بِي فَقَالَ ‏"‏ إِنِّي ذَاكِرٌ لَكِ أَمْرًا فَلاَ عَلَيْكِ أَنْ لاَ تَعْجَلِي حَتَّى تَسْتَأْمِرِي أَبَوَيْكِ ‏"‏ ‏.‏ قَالَتْ قَدْ عَلِمَ أَنَّ أَبَوَىَّ لَمْ يَكُونَا لِيَأْمُرَانِي بِفِرَاقِهِ قَالَتْ ثُمَّ قَالَ ‏"‏ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ ‏{‏ يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلاً * وَإِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا‏}‏ قَالَتْ فَقُلْتُ فِي أَىِّ هَذَا أَسْتَأْمِرُ أَبَوَىَّ فَإِنِّي أُرِيدُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الآخِرَةَ ‏.‏ قَالَتْ ثُمَّ فَعَلَ أَزْوَاجُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِثْلَ مَا فَعَلْتُ ‏.‏
Terjemahan
'Aisyah melaporkan

Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) memberi kami pilihan (untuk bercerai) tetapi kami tidak menganggapnya sebagai perceraian.

Comment

Kitab Perceraian - Sahih Muslim 1477a

Riwayat ini dari Sahih Muslim membahas masalah khiyār (opsi) yang diberikan oleh Nabi (ﷺ) kepada istri-istrinya, yang tidak mereka anggap sebagai perceraian.

Konteks dan Latar Belakang

Hadis ini merujuk pada peristiwa ketika Rasulullah menawarkan pilihan kepada istri-istrinya untuk tetap bersamanya dalam keadaan sederhana atau pergi dengan pemberian yang baik. Peristiwa ini dijelaskan dalam Surah Al-Ahzab (33:28-29).

Opsi (khiyār) yang diberikan adalah ujian atas iman dan kepuasan mereka dengan gaya hidup sederhana rumah tangga kenabian, bukan pernyataan resmi perceraian.

Komentar Ulama

Ulama klasik menjelaskan bahwa opsi ini adalah keadaan khusus yang spesifik untuk rumah tangga Nabi dan tidak menetapkan preseden umum untuk prosedur perceraian.

Imam An-Nawawi menyatakan bahwa pemahaman istri-istri bahwa opsi ini tidak membentuk perceraian menunjukkan bahwa terminologi perceraian yang eksplisit diperlukan agar perceraian efektif secara hukum.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa ekspresi ambigu atau opsi bersyarat tidak secara otomatis menyebabkan perceraian tanpa niat dan pemahaman yang jelas dari kedua belah pihak.

Implikasi Hukum

Riwayat ini mendukung prinsip bahwa perceraian memerlukan ekspresi yang jelas (ṣarīḥ) atau niat yang tidak ambigu.

Ulama menyimpulkan dari ini bahwa skenario hipotetis atau situasi pengujian tidak membentuk perceraian aktual kecuali disertai dengan rumusan hukum dan niat yang tepat.

Peristiwa ini menekankan pentingnya konteks dan pemahaman bersama dalam urusan perkawinan, terutama dalam situasi sensitif seperti perceraian.