حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ هِشَامٍ، وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وَيَحْيَى بْنُ حَبِيبٍ الْحَارِثِيُّ، - وَاللَّفْظُ لِخَلَفٍ - قَالُوا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ غَيْلاَنَ بْنِ جَرِيرٍ، عَنْ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ أَبِي مُوسَى، الأَشْعَرِيِّ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي رَهْطٍ مِنَ الأَشْعَرِيِّينَ نَسْتَحْمِلُهُ فَقَالَ ‏"‏ وَاللَّهِ لاَ أَحْمِلُكُمْ وَمَا عِنْدِي مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ ‏"‏ ‏.‏ قَالَ فَلَبِثْنَا مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ أُتِيَ بِإِبِلٍ فَأَمَرَ لَنَا بِثَلاَثِ ذَوْدٍ غُرِّ الذُّرَى فَلَمَّا انْطَلَقْنَا قُلْنَا - أَوْ قَالَ بَعْضُنَا لِبَعْضٍ - لاَ يُبَارِكُ اللَّهُ لَنَا أَتَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَسْتَحْمِلُهُ فَحَلَفَ أَنْ لاَ يَحْمِلَنَا ثُمَّ حَمَلَنَا ‏.‏ فَأَتَوْهُ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ ‏"‏ مَا أَنَا حَمَلْتُكُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَمَلَكُمْ وَإِنِّي وَاللَّهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لاَ أَحْلِفُ عَلَى يَمِينٍ ثُمَّ أَرَى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ كَفَّرْتُ عَنْ يَمِينِي وَأَتَيْتُ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ ‏"‏ ‏.‏
Terjemahan
Tamim b. Tarafa melaporkan bahwa dia mendengar 'Adi b. Hatim mengatakan bahwa seseorang datang kepadanya dan meminta seratus dirham. Dia ('Adi) berkata

Engkau meminta saya seratus dirham dan saya adalah putra Hatim; demi Allah, aku tidak akan memberimu. Tetapi kemudian dia berkata: (Aku akan melakukan itu) jika aku tidak mendengar Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) berkata: Barangsiapa bersumpah, tetapi kemudian menemukan sesuatu yang lebih baik dari itu, harus melakukan apa yang lebih baik.

Comment

Kitab Sumpah - Sahih Muslim 1651e

Narasi ini dari Sahih Muslim memberikan contoh mendalam tentang bagaimana seorang Muslim harus menavigasi masalah sumpah yang rumit ketika alternatif yang lebih baik muncul. Sahabat awalnya bersumpah demi Allah untuk tidak memberikan seratus dirham yang diminta, dengan menyebut keturunan mulianya sebagai putra Hatim untuk menekankan tekadnya.

Komentar Ilmiah

Kebijaksanaan hadis ini terletak pada pengakuannya bahwa penilaian manusia dapat keliru. Ketika seseorang mengambil sumpah berdasarkan pemahaman terbatas atau tergesa-gesa, dan kemudian menemukan jalan yang lebih benar, yurisprudensi Islam mengizinkan mematahkan sumpah tersebut demi alternatif yang lebih unggul.

Mematahkan sumpah dalam kasus ini memerlukan kaffarah, biasanya memberi makan sepuluh orang miskin, memberi mereka pakaian, atau membebaskan seorang budak. Ini menunjukkan bahwa meskipun sumpah dihormati, keunggulan moral dan kebenaran lebih diutamakan dalam etika Islam.

Aplikasi Praktis

Ajaran ini mendorong Muslim untuk memprioritaskan penalaran moral yang berkelanjutan daripada ketaatan kaku pada pernyataan masa lalu. Ini mencerminkan sifat hukum Islam yang penuh belas kasihan, yang mengakui ketidaksempurnaan manusia dan menyediakan mekanisme untuk perbaikan spiritual.

Contoh sahabat menunjukkan bahwa kesalehan sejati tidak terletak pada ketaatan keras kepala pada sumpah, tetapi pada kemauan untuk memilih jalan yang lebih baik begitu itu menjadi jelas, disertai dengan memenuhi kaffarah yang diperlukan.