Pernikahan, Pernikahan (Nikaah)
كتاب النكاح
Bab : Saksi seorang pengasuh bayi
Aku menikahi seorang wanita, lalu seorang wanita kulit hitam datang kepada kami dan berkata, "Aku telah menyusui kalian berdua (kamu dan istrimu)." Maka aku datang kepada Nabi ( ﷺ ) dan berkata, "Aku menikahi si fulan, lalu seorang wanita kulit hitam datang kepada kami dan berkata kepadaku, 'Aku telah menyusui kalian berdua.' Padahal menurutku dia pembohong." Nabi ( ﷺ ) memalingkan wajahnya dariku, lalu aku menghadap wajahnya dan berkata, "Dia pembohong." Nabi ( ﷺ ) berkata, "Bagaimana (kamu bisa mempertahankannya sebagai istrimu) padahal wanita itu telah mengatakan bahwa dia telah menyusui kalian berdua? Maka tinggalkanlah (yakni, ceraikan) dia (istrimu).
Bab : Seorang wanita tidak boleh menikah dengan pria yang sudah menikah dengan bibi dari pihak ayahnya.
Rasulullah ( ﷺ ) melarang seorang wanita menikah dengan laki-laki disertai bibi dari pihak ayah atau ibu.
Bab : "Barangsiapa mampu menikah, hendaklah ia menikah..."
Ketika aku bersama Abdullah, Utsman menemuinya di Mina dan berkata, "Wahai Abu Abdurrahman! Ada yang ingin kukatakan kepadamu." Maka keduanya pun pergi ke samping dan Utsman berkata, "Wahai Abu Abdurrahman! Maukah kamu kami menikahkanmu dengan seorang perawan yang akan membuatmu mengingat masa lalumu?" Ketika Abdullah merasa bahwa ia tidak membutuhkannya, ia memberi isyarat kepadaku (untuk bergabung dengannya) seraya berkata, "Wahai Alqama!" Kemudian aku mendengarnya berkata (menjawab Utsman), "Sebagaimana yang telah kalian katakan, (aku katakan kepada kalian bahwa) Nabi ( ﷺ ) pernah berkata kepada kami, 'Wahai anak muda! Barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, hendaklah ia menikah, dan barangsiapa yang belum mampu menikah, dianjurkan untuk berpuasa, karena puasa dapat melemahkan kemampuan seksualnya.
Bab : Tentang (menikahi) beberapa wanita
Ibnu Abbas bertanya kepadaku, "Apakah kamu sudah menikah?" Aku menjawab, "Belum." Ia berkata, "Menikahlah, karena orang terbaik di umat ini (yaitu Muhammad) di antara semua Muslim, adalah yang paling banyak istrinya."
Bab : Barangsiapa yang berhijrah dengan tujuan menikahi seorang wanita,
Rasulullah ( ﷺ ) bersabda, “Sesungguhnya pahala (amal) itu tergantung niatnya, dan setiap orang mendapat pahala sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia atau untuk menikahi wanita, maka hijrahnya itu untuk apa yang menjadi tujuan hijrahnya.” (1)
Bab : Pernikahan dengan orang miskin
Kami dulu berperang di medan perang bersama Nabi ( ﷺ ) dan kami tidak memiliki istri. Maka kami bertanya, "Wahai Rasulullah ( ﷺ )! Apakah kami harus dikebiri?" Nabi ( ﷺ ) melarang kami melakukannya.
Bab : Ucapan seseorang kepada saudaranya (dalam Islam)
`Abdur-Rahman bin `Auf datang (dari Mekkah ke Madinah) dan Nabi ( ﷺ ) mengikat tali persaudaraan antara dirinya dan Sa`d bin Ar-Rabi` Al-Ansari. Al-Ansari memiliki dua orang istri, maka ia mengusulkan agar `Abdur-Rahman mengambil separuh dari istri-istrinya dan harta bendanya. `Abdur-Rahman menjawab, "Semoga Allah memberkahimu dengan istri-istrimu dan harta bendamu. Mohon tunjukkan kepadaku pasarnya." Maka `Abdur-Rahman pergi ke pasar dan memperoleh (dengan tawar-menawar) beberapa yoghurt kering dan beberapa mentega. Setelah beberapa hari, Nabi ( ﷺ ) melihat `Abdur-Rahman dengan beberapa noda kuning di pakaiannya dan bertanya kepadanya, "Apa itu, wahai `Abdur-Rahman?" Ia menjawab, "Aku telah menikahi seorang wanita Ansari." Nabi ( ﷺ ) bertanya, "Berapa mahar yang kau berikan kepadanya?" Ia menjawab, "Seberat satu batu (kurma) emas." Nabi ( ﷺ ) bersabda, “Sediakanlah jamuan makan, meskipun hanya dengan seekor kambing.”
Bab : Untuk menikahi perawan
Rasulullah ( ﷺ ) bersabda (kepadaku), "Aku telah melihatmu dua kali dalam mimpiku. Seorang laki-laki menggendongmu dengan kain sutra dan berkata kepadaku, 'Ini istrimu.' Aku pun membuka kain itu, dan ternyata itu adalah dirimu. Aku berkata dalam hatiku, 'Jika mimpi ini dari Allah, Dia akan mewujudkannya.'"
Bab : Pernikahan ibu-ibu rumah tangga
Ketika kami kembali dari Ghazwa (Perang Suci) bersama Nabi, aku mulai memacu untaku dengan cepat, karena unta itu pemalas. Seorang penunggang kuda datang dari belakangku dan menusuk untaku dengan tombak yang dibawanya, lalu untaku berlari secepat unta terbaik yang mungkin kau lihat. Lihatlah! Penunggang kuda itu adalah Nabi ( ﷺ ) sendiri. Beliau berkata, 'Apa yang membuatmu terburu-buru?" Aku menjawab, Aku baru saja menikah." Beliau berkata, "Apakah kau menikahi seorang perawan atau seorang janda?" Aku menjawab, "Seorang janda." Beliau berkata, "Mengapa kau tidak menikahi seorang gadis muda sehingga kau dapat bermain dengannya dan dia bermain denganmu?" Ketika kami hendak memasuki (Madinah), Nabi ( ﷺ ) berkata, "Tunggulah sehingga kalian dapat memasuki (Madinah) pada malam hari sehingga wanita yang rambutnya tidak terawat dapat menyisir rambutnya dan wanita yang suaminya telah pergi dapat mencukur daerah kemaluannya.
Bab : Pernikahan seorang wanita muda dengan seorang pria tua
Nabi ( ﷺ ) melamar Abu Bakar untuk menikahi Aisyah. Abu Bakar berkata, "Aku ini saudaramu." Nabi ( ﷺ ) berkata, "Kamu adalah saudaraku dalam agama Allah dan Kitab-Nya, tetapi dia (Aisyah) halal bagiku untuk dinikahi."
Bab : Tipe wanita seperti apa yang sebaiknya dicari dalam pernikahan?
Rasulullah ( ﷺ ) bersabda, "Sebaik-baik wanita adalah para penunggang unta dan wanita-wanita Quraisy yang shalih. Mereka adalah wanita yang paling baik dalam memperlakukan anak-anaknya ketika masih kecil dan paling berhati-hati dalam menjaga harta suami mereka."
Bab : Pembebasan seorang gadis budak sebagai maharnya
Rasulullah ( ﷺ ) membebaskan Safiyya dan menganggap pembebasannya sebagai maharnya.
Bab : Suami istri harus memiliki agama yang sama
Abu Hudhaifa bin `Utba bin Rabi`a bin `Abdi Shams yang telah menyaksikan perang Badar bersama dengan Nabi ( ﷺ ) mengadopsi Salim sebagai putranya, yang ia nikahi dengan keponakannya, Hind binti Al-Walid bin `Utba bin Rabi`a; dan Salim adalah budak yang dibebaskan dari seorang wanita Ansar, sebagaimana Nabi ( ﷺ ) telah mengadopsi Zaid sebagai putranya. Itu adalah kebiasaan di Periode Pra-Islam bahwa jika seseorang mengadopsi seorang anak laki-laki, orang-orang akan memanggilnya putra dari ayah angkatnya dan dia akan menjadi ahli warisnya. Tetapi ketika Allah menurunkan Ayat-ayat Ilahi: 'Panggil mereka dengan (nama-nama) ayah mereka . . . budak-budakmu yang dibebaskan,' (33.5) orang-orang yang diadopsi dipanggil dengan nama ayah mereka. Orang yang ayahnya tidak diketahui, akan dianggap sebagai Maula dan saudaramu dalam agama. Kemudian Sahla binti Suhail bin `Amr Al-Quraishi Al-`Amiri—istri Abu-Hudhaifa bin `Utba—datang kepada Nabi ( ﷺ ) dan berkata, "Wahai Rasulullah ( ﷺ )! Kami dulu menganggap Salim sebagai anak (adopsi) kami, dan kini Allah telah menurunkan apa yang kamu ketahui (mengenai anak angkat)." Kemudian, narator kedua menyebutkan sisa narasi tersebut.
Rasulullah ( ﷺ ) bersabda, "Wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, karena keluarganya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu menikahi wanita yang beragama, jika tidak, kamu akan merugi."
Bab : Tidak menikah lebih dari empat orang (pada saat yang bersamaan)
(mengenai) Ayat: 'Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak yatim...' (4.3) Ayat ini adalah tentang gadis yatim yang berada dalam pengasuhan seorang laki-laki yang menjadi walinya, dan ia bermaksud menikahinya karena hartanya, tetapi ia memperlakukannya dengan buruk dan tidak mengelola hartanya secara adil dan jujur. Laki-laki seperti itu harus menikahi wanita-wanita yang disukainya selain dari wanita itu, dua atau tiga atau empat. 'Diharamkan bagimu (untuk menikahi): ...ibu-ibu angkatmu (yang telah menyusui kamu).' (4.23) Pernikahan dilarang antara orang-orang yang memiliki hubungan asuh-susu yang sesuai dengan hubungan darah yang menjadikan pernikahan itu tidak sah.
Bab : "Diharamkan bagimu (menikahinya): ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu..."
"Diharamkan bagimu (menikah) ibu-ibumu..." (4:23). Abdullah bin Ja'far menikahi putri dan istri Ali pada saat yang sama (mereka adalah anak tiri dan ibu). Ibnu Sirin berkata, "Tidak ada salahnya." Namun Hasan Al-Basri awalnya tidak setuju, tetapi kemudian berkata bahwa tidak ada salahnya. Hasan bin Hasan bin Ali menikahi dua orang sepupunya dalam satu malam. Ja'far bin Zaid tidak setuju dengan hal itu karena akan menimbulkan kebencian (di antara kedua sepupu), namun hal itu tidak haram, sebagaimana firman Allah, "Dihalalkan bagimu selain mereka (yang disebutkan)." (4:24). Ibnu Abbas berkata: "Jika seseorang melakukan hubungan seksual yang tidak sah dengan saudara perempuan istrinya, maka istrinya tidak menjadi haram baginya." Dan diriwayatkan Abu Ja'far, "Jika seseorang melakukan homoseksualitas dengan seorang anak laki-laki, maka ibu dari anak laki-laki itu tidak halal baginya untuk dinikahi." Diriwayatkan Ibnu Abbas, "Jika seseorang melakukan hubungan seksual yang tidak sah dengan ibu mertuanya, maka hubungan pernikahannya dengan istrinya tidak menjadi haram." Abu Nasr meriwayatkan telah mengatakan bahwa Ibnu Abbas dalam kasus di atas, menganggap hubungan pernikahannya dengan istrinya adalah haram, namun Abu Nasr tidak dikenal karena mendengar hadits dari Ibnu Abbas. Imran bin Hussain, Jabir b. Zaid, Al-Hasan dan beberapa Orang Irak lainnya, dilaporkan telah menilai bahwa hubungan perkawinannya dengan istrinya akan menjadi haram. Dalam kasus di atas Abu Hurairah berkata, "Hubungan perkawinan dengan istri seseorang tidak menjadi haram kecuali jika seseorang telah melakukan hubungan seksual (dengan ibunya)." Ibn Al-Musaiyab, 'Urwa, dan Az-Zuhri mengizinkan orang tersebut untuk tetap memiliki istrinya. 'Ali berkata, "Hubungan perkawinannya dengan istrinya tidak menjadi haram."
Bab : Seorang wanita tidak boleh menikah dengan pria yang sudah menikah dengan bibi dari pihak ayahnya.
Rasulullah ( ﷺ ) bersabda, "Tidaklah baik seorang perempuan dan bibi dari pihak ayah menikah dengan laki-laki yang sama. Begitu pula, tidak baik seorang perempuan dan bibi dari pihak ibu menikah dengan laki-laki yang sama."
Bab : Apa yang tidak disukai dari tidak menikah dan dikebiri?
Kami dulu ikut serta dalam peperangan suci yang dipimpin oleh Rasulullah ( ﷺ ) dan kami tidak memiliki apa pun (istri) bersama kami. Maka kami berkata, "Haruskah kami mengebiri diri kami sendiri?" Beliau melarang kami melakukan itu dan kemudian mengizinkan kami menikahi wanita dengan akad sementara (2) dan membacakan kepada kami: -- 'Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengharamkan apa yang baik-baik yang telah Allah halalkan bagimu, dan janganlah kamu melampaui batas.' (5.87)
Bab : Memiliki tawanan perempuan dan membebaskan budak perempuan milik sendiri
Rasulullah ( ﷺ ) bersabda, "Barangsiapa yang mempunyai budak perempuan, lalu didiknya dengan baik, diajarkan adab yang baik, dibebaskan dari perbudakan, dan dinikahinya, maka baginya dua pahala. Dan barangsiapa di antara Ahli Kitab yang beriman kepada nabinya, kemudian beriman kepadaku, maka baginya dua pahala. Dan barangsiapa budak yang menunaikan kewajibannya kepada tuannya dan kepada Tuhannya, maka baginya dua pahala."
Nabi ( ﷺ ) tinggal selama tiga hari antara Khaibar dan Madinah, dan di sana ia menyempurnakan pernikahannya dengan Safiyya binti Huyai. Saya mengundang kaum Muslim ke pesta pernikahan di mana tidak ada daging maupun roti yang dipersembahkan. Ia memerintahkan agar kain pelapis makan dari kulit dibentangkan, dan kurma, yoghurt kering, dan mentega diletakkan di atasnya, dan begitulah pesta pernikahan Nabi. Kaum Muslim bertanya-tanya, "Apakah ia (Saffiyya) dianggap sebagai istrinya atau budak perempuannya?" Kemudian mereka berkata, "Jika ia memerintahkannya untuk bercadar, ia akan menjadi salah satu ibu dari orang-orang beriman; tetapi jika ia tidak memerintahkannya untuk bercadar, ia akan menjadi seorang budak perempuan. Jadi ketika Nabi ( ﷺ ) berangkat dari sana, ia menyisakan ruang baginya di belakangnya (di atas untanya) dan meletakkan kain penutup di antara dia dan orang-orang.